![]() |
Ex Direktur Fireworks Ventures Limited Jimy Hermawan/ist |
Denpasar – Ex Direktur Fireworks Ventures Limited Jimy Hermawan
mengatakan, eksekusi lelang Hotel Kuta Paradiso yang dilakukan pada 6 Oktober
2020 oleh KPKNL Denpasar berdasarkan putusan inchract (PK dua kali) Alfort
Capital yang dijalankan oleh PN Denpasar adalah sah secara hukum.
Namun belakangan muncul desakan permintaan agar diibatalkan oleh pihak yang
mengaku pemegang hak tagih/cessie terhadap PT Geria Wijaya Prestige (GWP),
pemilik Hotel Kuta Paradiso.
“Bagi masyarakat umum mungkin ini hal yang biasa. Bagi yang mengikuti
permasalahan ini sejak awal, hal ini tentu sangat menarik khususnya bagi para
praktisi hukum dan yang bergelut di bidang perbankan,” ujar Jimy dalam
keterangannya.
Dia juga membeberkan beberapa fakta yang perlu diketahui oleh masyarakat umum
di Bali dan Indonesia pada umumnya.
Pertama harus diketahui adalah Hotel Kuta Paradiso (d/h Hotel Sol Elite
Paradiso) dibangun dengan menggunakan hutang USD 17 juta dari sindikasi 7 bank
(PDFCI, Rama, Dharmala, ANK, Finconesia, Indovest, Multicor) pada tahun 1995.
Krisis moneter 1998 membuat 3 bank yakni PDFCI, Rama & Dharmala, masuk
dalam Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), sehingga pada tahun 2004
(sebelum BPPN dibubarkan) hak tagih/cessie terhadap Hotel Kuta Paradiso (PT
GWP) dari 3 bank PDFCI, Rama & Dharmala dilelang. Pemenang lelang pada
tahun 2004 adalah PT Millenium Atlantic Securities (PT MAS).
Kemudian tahun 2005 hak tagih/cessie kembali berpindah tangan kepada Fireworks
Ventures Limited (sampai saat ini). Fireworks Ventures Limited diduga kuat
adalah milik dari Harijanto Karjadi (PT GWP).
Jadi, buyback yang sebenarnya adalah sebuah pelanggaran/melanggar hukum. Jadi
pemenang hak tagih/cessie terhadap Hotel Kuta Paradiso (PT GWP) adalah 5 pihak
(dari sebelumnya 7 pihak) yaitu Fireworks Ventures Limited (ex PFCI, Rama,
Dharmala), KPKNL jakarta IV (ex Indovest), Alfort Capital (ex Finconesia),
Gaston Invesment (ex ANK) & Tomy Winata (ex Multicor).
Sejak tahun 2000 permasalahan pinjaman sindikasi ini sudah bersengketa sampai
saat ini, hampir 20 tahun dan belum ada ujungnya atau kepastian hukum.
Klaim Fireworks Ventures Limited sebagai satu-satunya pemegang piutang adalah
tidak benar dan terlebih permintaan pembatalan lelang (yang sudah memiliki
keputusan inchract dari 2 kreditur yaitu Alfort Capital & Gaston
Investment) adalah langkah yang sangat aneh dan tidak masuk akal.
Selaku mantan direktur, klaim Fireworks Ventures Limited sebagai pemilik
tunggal hak tagih/cessie oleh oknum Edy Nusantara adalah tidak benar, karena
ada 4 pihak lain pemegang hak tagih/cessie dan proses hukum lain yaitu KPKNL
Jakarta IV (ex Bank Indovest) yang juga adalah dibawah Kementerian Keuangan
(Negara), Alfort Capital (ex Finconesia) yang sudah memiliki keputusan
inchract (PK 2) di PN Jakarta Pusat, dimana eksekusi lelang yang akan
dilaksanakan pada tanggal 6 oktober 2020 mendatang adalah menjalankan putusan
tersebut.
Gaston Investment (ex Bank ANK) yang juga sudah memiliki keputusan inchract
(PK) di PN Jakarta Pusat.
Dan saat ini juga sudah melakukan pelaporan ke Polda Bali terkait tindak
pidana TPPU yang diduga dilakukan oleh PT GWP yang tidak pernah melakukan
pembayaran piutang sejak tahun 1995 serta laporan polisi di Polda Bali terkait
pernyataan Edy Nusantara (Fireworks Ventures Limited) bahwa adalah pemegang
tunggal hak tagih/cessie terhadap Hotel Kuta Paradiso (PT GWP).
Tomy Winata (ex Multicor) yang sedang berproses perdata di PN Jakarta Pusat
dan PN Jakarta Utara serta proses pidana di Polda Bali yang sudah memiliki
putusan di tingkat kasasi yang menghukum Harijanto Karjadi (PT GWP) bersalah
dan hukum penjara 2 tahun di LP Kerobokan dan juga Hartono Karjadi yang
mendekam di Rutan Polda Bali.
Laporan dari ex Direktur & pemegang saham utama Fireworks Ventures Limited
di Polda Metro Jaya terkait proses pembelian hak tagih/cessie dari BPPN pada
tahun 2004 oleh PT MAS adalah transaksi fiktif dimana sumber dana dan
transaksinya adalah dari PT GWP sendiri yang merupakan pihak debitur.
Akibatnya Negara (BPPN) dirugikan dengan transaksi ini, karena dilelang dengan
harga yang jauh di bawah nilai hutang aslinya. Lelang Hotel Kuta Paradiso
senilai Rp 650 M adalah sejatinya untuk pembayaran hutang yang bermasalah
sejak 1995 (hampir 25 tahun) kepada para pihak kreditur/pemilik hak tagih.
Lebih aneh dan membingungkan, adalah sejak tahun 2005 Fireworks Ventures
Limited membeli / mengambil alih piutang/cessie dari PT MAS, sampai saat ini
tidak ada tindakan nyata untuk melakukan penagihan kepada PT GWP (Hotel Kuta
Paradiso) untuk mendapatkan haknya yaitu pembayaran hutang.
Sebaliknya, malah melaporkan para pihak kreditur lainnya yang sejatinya
harusnya sejalan bersama-sama menagih hutang kepada PT GWP dan selalu
menghambat setiap upaya hukum atau tindakan penagihan terhadap hutang tersebut
(tahun 2015, tahun 2019 melakukan protes dan demo terkait eksekusi lelang
Hotel Kuta Paradiso di PN Denpasar).
Potret ini semakin menguatkan indikasi dan tuduhan dari Jimmy Hermawan (ex
Dirut Fireworks Ventures Limited) bahwa sebenarnya Fireworks Ventures Limited
adalah milik dari Harijanto Karjadi yang tak lain adalah pemilik dari Hotel
Kuta Paradiso (PT GWP) itu sendiri.
Jadi semua ini adalah sebagai upaya dan bentuk status quo agar hutang tersebut
tidak pernah dapat ditagih/dibayarkan. “Semoga kasus diatas semoga bisa
membuka dan membuat jelas kepada publik dan aparat penegak hukum,” harapnya.
Yang menarik, adalah muncul nama Boyamin Saiman yang kadang berperan sebagai
MAKI untuk menekan aparat hukum dan kadang berperan sebagai kuasa hukum bagi
tersangka & terdakwa Harijanto Karjadi.
Semoga tidak stop hanya ditangkap fisiknya saja, karena yang lebih penting dan
sebenarnya pokok permasalahan awal adalah pembayaran hutang/kerugian dari
hutang yang tidak pernah dibayar sejak tahun 1995.
Dia berharap, proses penuntasan permasalahan ini menjadi tonggak baru dan
terobosan hukum Indonesia terhadap kasus-kasus cessie BPPN yang marak
sebenarnya dan belum pernah ada yang tuntas sampai saat ini.
Kasus atau permasalahan ini dimulai karena krisis moneter tahun 1998 (22 tahun
lalu), semoga krisis Kesehatan yang mulai mengancam perekonomian Indonesia,
pandemi Covid19 tahun 2020.
Hal ini juga bisa menjadi momentum dan tongak sejarah keadilan terhadap
kepastian investasi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia khususnya di
wilayah Bali yang selalu menjadi jendela dan atensi dunia. (rhm)