Gubernur Koster saat menerima kunjungan kerja Komisi II DPR RI di Ruang Wisma Sabha Utama Kantor Gubernur Bali di Denpasar, Senin (11/10/2021)/Dok. Humas Pemprov Bali. |
Denpasar – Untuk kesekian kalinya Gubernur Bali I Wayan Koster menyuarakan urgensi RUU Provinsi Bali agar secepatnya dibahas di DPR sehingga bisa menjadi undang undang.
“Intinya, kami ingin Bali dibangun sesuai potensi. Sama sekali tak
meminta kekhususan. Dengan UU ini, Bali akan bisa di-empowerment sesuai
dengan kemampuan dan potensi yang dimiliki,” ujar Gubernur Koster saat menerima kunjungan kerja Komisi II DPR RI di Ruang Wisma Sabha Utama Kantor Gubernur Bali di Denpasar, Senin (11/10/2021).
Ia berharap, RUU Provinsi Bali bisa mulai dibahas tahun 2022 mendatang agar segera dapat disahkan menjadi undang-undang.
Payung hukum baru sangat urgen bagi Provinsi Bali karena saat ini pembentukan Bali masih diatur dalam satu peraturan perundang-undangan yaitu UU Nomor 64 Tahun 1958, bersama-sama dengan dua provinsi tetangga yaitu Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT).
Produk hukum ini, kata Gubernur Koster, masih mengacu konsideran Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 (UUDS 1950), dalam bentuk Negara Indonesia Serikat (RIS).
“Mengacu pada UU itu, Bali masih masuk dalam wilayah Sunda Kecil dan ibu kotanya adalah Singaraja. Setiap produk hukum yang kami susun, harus merujuk pada UU itu. Jadi rasanya tanpa makna, secara esensi juga bertentangan,” tegasnya lagi.
Apabila dikaitkan dengan prinsip ketatanegaraan, sangat tidak baik jika hal ini dibiarkan terlalu lama.
Lanjut Koster, syukurnya, tiga provinsi yang terikat dalam satu produk hukum ini tidak ada yang ‘aneh-aneh’, sehingga sejauh ini belum menimbulkan persoalan.
“Kalau ada yang ‘nakal’, ini bisa jadi ruang munculnya sparatisme baru dengan memanfaatkan kesempatan karena lemahnya perundang-undangan. Ruang ini yang harus kita tutup agar tidak ada celah,” ucapnya.
Terkait rancangan RUU telah diajukan, mantan anggota DPR RI tiga periode ini sangat terbuka dan menyerahkan sepenuhnya pembahasan di tangan DPR RI.
Ia meyakinkan kalau RUU ini sama sekali tak mengundang kepentingan Bali meminta kekhususan.
Semangat yang tertuang dalam RUU ini adalah bagaimana menjaga kearifan lokal Bali dan mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya yang dimiliki dalam bingkai NKRI, Pancasila dan UUD 1945.
“Pada intinya, kami ingin Bali dibangun sesuai potensi. Sama sekali tak meminta kekhususan. Dengan UU ini, Bali akan bisa di-empowerment sesuai dengan kemampuan dan potensi yang dimiliki,” tegasnya lagi.
Menanggapi permohonan Gubernur Koster terkait pembahasan RUU Provinsi Bali, Ketua Komisi II DPR RI Dr H Ahmad Doli Kurnia Tandjung selaku pimpinan rombongan menyampaikan perubahan UU itu memang sangat penting.
Tidak hanya Bali yang mengajukan perubahan UU, ia menyebut setidaknya ada 20 provinsi yang mengajukan perubahan UU belakangan ini.
Diantara sekian banyak RUU yang diusulkan, RUU Provinsi Bali paling menyita perhatian karena memunculkan tentang kekhasan daerah.
Agar pembahasannya berjalan lancar dan tak berkepanjangan, pihaknya sudah memberi batasan ‘kekhasan’ bukan ‘kekhususan’ pada RUU Provinsi Bali.
“Bali ini yang isunya paling mengemuka. Kalau yang lain hanya perubahan nomenklatur dari UUDS RIS ke UUD 1945,” tandas politikus Partai Golkar ini.
Doli juga sependapat dengan Gubernur Koster, tidak baik kalau produk hukum yang konsiderannya masih UUDS di era RIS tidak segera diubah.
Selain bisa membuka celah munculnya sparatisme, UU lawas itu bisa menjadi masalah ketika satu daerah menjalin kerja sama dengan negara luar.
Untuk itu, secara bertahap, RUU yang diajukan sejumlah provinsi itu akan dibahas sesuai tahapan. Ia pun menjanjikan, RUU Provinsi Bali bisa mulai dibahas awal tahun 2022.
Gubernur Koster menyampaikan terima kasih atas keseriusan jajaran Komisi II DPR RI dalam mengawal RUU Provinsi Bali. Mencari waktu tepat, akan bertemu khusus dengan jajaran Komisi II DPR RI untuk memberi penjelasan detail terkait RUU Provinsi Bali. (rhm)