Uniknya Balutan Busana Kulit Ular Phyton

29 Mei 2014, 08:01 WIB
Fotografer Casco Wibowo dan desainer serta model dalam karya kulit ular phyuton (Foto:KabarNusa)

KabarNusa.com, Denpasar – Bagi kebanyakan masyarakat mengenakan busana atau asesoris lainnya berbahan baku hewan berbisa ular bisa jadi menimbulkan rasa takut. Belum lagi, harganya yang mahal menjadikan busana ini kurang begitu populer. Meski begitu, di tangan Leo Syang dan Elissa Ling desaiener spesialis ular phyton ini, rancangan karya-karya menjadi buruan kaum jetset sampai mancanegara.

Beragam produk mulai fashion, tas, ikat pinggag dan lainnya, perlahan mulai banyak yang menggunakan bahan kulit ular phyton. Lewat proses produksi yang panjang dan hati-hati, produk fashion berbahan kulit phyton itu, menjadi sebuah karya unik dan menawan.

Beberapa model dalam dan luar negeri bahkan tertarik menggunakan kain atau bahan ular dalam penampilan mereka di atas panggung atau menjadi bidikan lensa kamera. Model dan artis kenamaan Rusia Vera Aleksandrova yang populer di sapa “Bepa” dan model dan artis Bali Putu Devi Sandra, adalah sedikit di antara artis yang berani berekperimen dengan busana kulit phyton.

Leo mengungkapkan, dibanding dengan busana atau eksesosoris lainnya, maka bahan baku kulit ular phyton, relatif tidak mudah didapat. Meskipun, sebenarnya hewan berbisa itu banyak ditemukan di berbagai belahan nusantara.

“Selama ini, masih ada anggapan bahwa ular seperti phyton itu sebagai hama, karena itu kami ingin menjadikannya agar bisa memiliki nilai lebih,” katanya di Kantor Dewan Pimpinan Pusat Persatuan Artis Remaja Cilik Indonesia (PARCI) Bali Nusra di Denpasar Rabu (28/5/2014).

Untuk mendapatkan bahan berkualitas bagus terbaik, maka Leo harus berburu ke sejumlah daerah seperti Kalimantan. Tidak semua jenis dan ukuran ular bisa dimanfaatkan untuk produk fashion dan aksesoris karena harus dipilih yang benar-benar memenuhi standar kualitas.

Lewat proses lama saat pengeringan dengan bahan kimiawi yang khusus didatangkan dari Italia itu, kulit ular baik yang berasal dari sawah atau di hutan itu selanjutnya itu dirancang dengan disain khusus atau sesuai kebutuhan.

Bahan itu, juga dilakukan pewarnaan untuk mengasilkan karya lebih hidup, di mana lebih banyak dipilih yang menonjolkan lukisan jiwa dan kebudayaan Bali.

“Saya pilih warna yang lebih natural, karena kecenderungan fashion lebih ke alam,” katanya didampingi Dewan Penasehat PARCI Pusat Erry Wibowo dan Ketua Parci Bali Casko Wibowo.

Sebagai gambaran, produk jaket bahan kulit Phyton yang banyak dipajang di butik atau gerainya , dijual ke pasar Eropa seperti Rusia itu, dibandrol Rp 3,4-7 Juta. Sejak tujuh tahun menggeluti bisnis ini, sudah 30 ribu jenis karya diciptakan berbahan kulit ular phyton.

Bagi Vera, mengenakan lembaran demi lembaran kulit phyton menyajikan sensansi tersendiri dan sangat unik.

“Ya senang sekali, cukup unik,” kata Bepa saat mengenalkan jaket bahan kulit ular itu.

Menurutnya, dengan memakai kostum atau asesoris dari kulit binatang bukan berarti tidak mememperhatikan masalah lingkungan atau menjaga habitat hewan sebagaimana diperjuangkan para aktivis lingkungan Greenpeace.

Pasalnya, hewan berbisa itu, jumlahnya cukup banyak dan pemanfaatannya selama ini belum maksimal.

“Sama seperti hewan lain, ayam misalnya jelas untuk dikonsumsi, kalau ular ya mestinya bisa dimanfaatkan yang memberi nilai lebih seperti dalam fashion,” kilahnya.

  

Hal sama disampaikan Sandra yang awalnya mengaku takut mengenakan kostum atau asesoris hewan berbisa. 

“Sekarang tidak takut lagi, sangat unik,” imbuh Sandra yang mahasiswia Universitas Udayana itu.(rma)

Berita Lainnya

Terkini