Yos Indra: Tak ada Pelanggaran Hukum dalam Pelelangan Hotel Kuta Paradiso

5 Oktober 2020, 20:01 WIB

Praktisi hukum Bali Yos Indra Wardana, SH,SE,MM/ist

Denpasar – Praktisi hukum Bali Yos Indra Wardana, SH,SE,MM menegaskan
tidak ada pelanggaran hukum dalam proses eksekusi lelang Hotel Kuta Paradiso.

Hotel bintang lima itu, akan dilakukan eksekusi lelang pada 6 Oktober 2020,
oleh KPKNL Denpasar berdasarkan putusan inchract (PK dua kali) Alfort Capital
yang dijalankan oleh PN Denpasar.

Belakangan muncul desakan permintaan dibatalkan pihak yang mengaku pemegang
hak tagih/cessie terhadap PT Geria Wijaya Prestige (GWP), pemilik Hotel Kuta
Paradiso.

“Bagi masyarakat umum mungkin ini hal yang biasa. Bagi yang mengikuti
permasalahan ini sejak awal, hal ini tentu sangat menarik khususnya bagi para
praktisi hukum dan yang bergelut di bidang perbankan,” ujar Yos dikonfirmasi
di Denpasar, Senin (5/10/2020).

Bukan hanya itu. Yos membeberkan beberapa fakta yang perlu diketahui oleh
masyarakat umum di Bali dan Indonesia umumnya.

Pertama, harus diketahui Hotel Kuta Paradiso (d/h Hotel Sol Elite Paradiso)
dibangun menggunakan hutang USD 17 juta dari sindikasi 7 bank (PDFCI, Rama,
Dharmala, ANK, Finconesia, Indovest, Multicor) pada tahun 1995.

Krisis moneter 1998 membuat 3 bank yakni PDFCI, Rama & Dharmala, masuk
dalam Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), sehingga pada tahun 2004
(sebelum BPPN dibubarkan) hak tagih/cessie terhadap Hotel Kuta Paradiso (PT
GWP) dari 3 bank PDFCI, Rama & Dharmala dilelang. Pemenang lelang pada
tahun 2004 adalah PT Millenium Atlantic Securities (PT MAS).

Kemudian, tahun 2005 hak tagih/cessie kembali berpindah tangan kepada
Fireworks Ventures Limited (sampai saat ini). Fireworks Ventures Limited
diduga kuat adalah milik dari Harijanto Karjadi “Koktai” (PT GWP).”

Jadi, buyback yang sebenarnya adalah sebuah pelanggaran/melanggar hukum. Jadi
pemenang hak tagih/cessie terhadap Hotel Kuta Paradiso (PT GWP) adalah 5 pihak
(dari sebelumnya 7 pihak) yaitu Fireworks Ventures Limited (ex PFCI, Rama,
Dharmala), KPKNL jakarta IV (ex Indovest), Alfort Capital (ex Finconesia),
Gaston Invesment (ex ANK) & Tomy Winata (ex Multicor).

“Sejak tahun 2000 permasalahan pinjaman sindikasi ini sudah bersengketa sampai
saat ini, hampir 20 tahun dan belum ada ujungnya atau kepastian hukum,”
bebernya.

Klaim Fireworks Ventures Limited sebagai satu-satunya pemegang piutang adalah
tidak benar dan terlebih permintaan pembatalan lelang (yang sudah memiliki
keputusan inchract dari 2 kreditur yaitu Alfort Capital & Gaston
Investment) adalah langkah yang sangat aneh dan tidak masuk akal.

Analisanya, klaim Fireworks Ventures Limited sebagai pemilik tunggal hak
tagih/cessie oleh oknum Edy Nusantara adalah tidak benar, karena ada 4 pihak
lain pemegang hak tagih/cessie dan proses hukum lain yaitu KPKNL Jakarta IV
(ex Bank Indovest) yang juga adalah dibawah Kementerian Keuangan (Negara),
Alfort Capital (ex Finconesia) yang sudah memiliki keputusan inchract (PK 2)
di PN Jakarta Pusat, dimana eksekusi lelang yang akan dilaksanakan pada
tanggal 6 oktober 2020 mendatang adalah menjalankan putusan tersebut.

Gaston Investment (ex Bank ANK) yang juga sudah memiliki keputusan inchract
(PK) di PN Jakarta Pusat. Saat ini juga, sudah melakukan pelaporan ke Polda
Bali terkait tindak pidana TPPU yang diduga dilakukan PT GWP yang tidak pernah
melakukan pembayaran piutang sejak tahun 1995.

Selain itu, pelaporan ke Polda Bali, terkait pernyataan Edy Nusantara
(Fireworks Ventures Limited) bahwa adalah pemegang tunggal hak tagih/cessie
terhadap Hotel Kuta Paradiso (PT GWP).

Tomy Winata (ex Multicor) yang tengah berproses perdata di PN Jakarta Pusat
dan PN Jakarta Utara serta proses pidana di Polda Bali yang sudah memiliki
putusan di tingkat kasasi yang menghukum Harijanto Karjadi “Koktai” (PT GWP)
bersalah dan hukum penjara 2 tahun di LP Kerobokan dan juga Hartono Karjadi
yang mendekam di Rutan Polda Bali.

Laporan dari ex Direktur & pemegang saham utama Fireworks Ventures Limited
di Polda Metro Jaya terkait proses pembelian hak tagih/cessie dari BPPN pada
tahun 2004 oleh PT MAS adalah transaksi fiktif dimana sumber dana dan
transaksinya adalah dari PT GWP sendiri yang merupakan pihak debitur.

Akibatnya Negara (BPPN) dirugikan dengan transaksi ini, karena dilelang dengan
harga yang jauh di bawah nilai hutang aslinya.

Ada 4 laporan polisi di Bareskrim Mabes Polri baik oleh pihak Fireworks
Ventures Limited atau PT GWP kepada parah pihak kreditur atau pemilik hak
tagih/cessie yang semuanya sudah dihentikan (SP3).

Edy Nusantara (Fireworks Ventures Limited) yang merupakan salah satu pemegang
hak tagih/cessie (ex PDFCI, Rama & Dharmala) meminta menunda eksekusi
lelang Hotel Kuta Paradiso adalah suatu perbuatan yang aneh dan tidak masuk
akal.

Lelang Hotel Kuta Paradiso senilai Rp 650 M adalah sejatinya untuk pembayaran
hutang yang bermasalah sejak 1995 (hampir 25 tahun) kepada para pihak
kreditur/pemilik hak tagih.

Lebih membingungkan lagi,sejak tahun 2005 Fireworks Ventures Limited
membeli/mengambil alih piutang/cessie dari PT MAS, sampai saat ini tidak ada
tindakan nyata untuk melakukan penagihan kepada PT GWP (Hotel Kuta Paradiso)
untuk mendapatkan haknya yaitu pembayaran hutang.

Sebaliknya, malah melaporkan para pihak kreditur lainnya yang sejatinya
harusnya sejalan bersama-sama menagih hutang kepada PT GWP dan selalu
menghambat setiap upaya hukum atau tindakan penagihan terhadap hutang tersebut
(tahun 2015, tahun 2019 melakukan protes dan demo terkait eksekusi lelang
Hotel Kuta Paradiso di PN Denpasar).

Potret ini semakin menguatkan indikasi dan tuduhan dari Jimmy Hermawan (ex
Dirut Fireworks Ventures Limited) bahwa sebenarnya Fireworks Ventures Limited
adalah milik dari Harijanto Karjadi “Koktai” yang tak lain adalah pemilik dari
Hotel Kuta Paradiso (PT GWP) itu sendiri.

Jadi semua ini adalah sebagai upaya dan bentuk status quo agar hutang tersebut
tidak pernah dapat ditagih/dibayarkan. Semoga kasus diatas semoga bisa membuka
dan membuat jelas kepada publik dan aparat penegak hukum.

Hal menarik lainnya adalah muncul nama Boyamin Saiman yang kadang berperan
sebagai MAKI untuk menekan aparat hukum dan kadang berperan sebagai kuasa
hukum bagi tersangka & terdakwa Harijanto Karjadi.

“Apresiasi kami sebesar-besarnya terhadap aparat penegak hukum di Bali mulai
dari Polda Bali, Kajati & PN Denpasar yang berani membongkar kasus
melibatkan Harijanto Karjadi,” imbuh Yos.

Semoga proses penuntasan permasalahan ini menjadi tonggak baru dan terobosan
hukum Indonesia terhadap kasus-kasus cessie BPPN yang marak sebenarnya dan
belum pernah ada yang tuntas sampai saat ini.

Pihaknya berharap pandemi Covid19 tahun 2020 ini, bisa menjadi momentum dan
tongak sejarah keadilan terhadap kepastian investasi dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia khususnya di wilayah Bali yang selalu menjadi jendela dan
atensi dunia. (rhm)

Berita Lainnya

Terkini