2 Perupa Otodidak Tampilkan Karya Tiga Dimensi

19 Desember 2014, 09:51 WIB
Menurut Georges Breguet, puncak kreativitas berkarya Ni Tanjung seputar tahun 2000 hingga 2008, berupa batu-batu yang dikumpulkan dari
sungai dan dicat dalam beragam figur wajah yang ekspresif imajinatif.

KabarNusa.com – Penutup tahun ini dua perupa art brut Indonesia, Dwi Putro dan Ni Nyoman Tanjung menampilkan karya tiga dimensi yang orisinil dan kontemporer.

Karya mereka dapat disaksikan di Bentara Budaya Bali dala eksibisi bertajuk “Artist From Elsewhere: Two Art Brut Artist from Indonesia” yang dibuka Jumat (19/12/2014) hingga 27 Desember 2014 di Jl. Prof. Ida Bagus Mantra No.88A Ketewel, Gianyar.

Pameran mengetengahkan 72 karya rupa ini mempertemukan sekaligus mempertautkan fenomena dua seniman otodidak, Dwi Putro atau yang lebih dikenal dengan Pak Wi, serta Ni Tanjung.

NI Tanjung melalui fenomena bawah sadarnya dianggap kuasa melahirkan karya-karya seni yang orisinil mempribadi sekaligus kontemporer.

Karya-karya Ni Tanjung dan Pak Wi boleh dikata mengejutkan masyarakat seni rupa Indonesia.

Mereka berdua, di tengah segala keterbatasannya, sanggup secara terus menerus menghasilkan lukisan-lukisan dan juga karya-karya tiga dimensi.

Terasa pula dalam karya-karyanya menyimpan kedalaman emosional dan psikologis tertentu layaknya seniman  umumnya yang telah tersohor atau memiliki capaian terpujikan.

Sebagai kurator pameran ini adalah Georges Breguet, Made Budhiana dan Jean Couteau, serta sebagai penggagas adalah Nawa Tunggal.

Selain menghadirkan karya-karya dua dimensi serta tiga dimensi Dwi Putro dan Ni Tanjung, acara dimaknai pemutaran video dokumenter mengenai kedua perupa ini,
sekaligus dialog memperbincangkan posisi seniman outsider dalam kancah seni rupa Indonesia dan dunia.

Menurut Georges Breguet, puncak kreativitas berkarya Ni Tanjung adalah seputar tahun 2000 hingga 2008, berupa batu-batu yang dikumpulkan dari sungai dan dicat dalam beragam figur wajah yang ekspresif imajinatif.

Kini karya-karya Ni Tanjung telah menarik perhatian dunia serta memperoleh tanggapan positif dari publik Eropa.

Pada  tahun  2014,  selusin  karya  Ni Tanjung  diseleksi  Dr  Peiry  untuk  dipamerankan pada L’art brut dans le  monde  (Seni  Brut  di  Dunia)  yang  diselenggarakan  di  Museum  Art  Brut  di Lausanne. 

Sebelumnya, tahun 2012, Bentara Budaya memberikan penghargaan Anugerah Budaya kepada Ni Tanjung bersama dengan 9 seniman terpilih lainnya, yang boleh dikata adalah para outsider art.

Para maestro tersebut antara lain: Anak Agung Ngurah Oka (Seniman Keramik Klasik – Bali), Pang Tjin Nio (Sinden Gambang Kromong – Jakarta), Rastika (Pelukis Kaca – Cirebon), Sitras Anjilin (Seniman Wayang Orang – Merapi Magelang), Sulasno (Tukang Becak dan Pelukis Kaca – Yogyakarta).

Juga, Mardi Gedek (Dalang Wayang Klithik – Bojonegoro Jawa Timur), Dirdjo Tambur (Pemain Ketoprak Senior – Yogyakarta), Hendrikus Pali (Penggiat Tenun dan Seni Tari – Kambera, Sumba Timur NTT), dan Zulkaidah Harahap (Ketua Opera Tradisional – Batak Sumatra Utara).

Sedangkan bagi budayawan Jean Couteau, karya-karya Dwi Putro atau  Pak  Wi  menarik perhatian  dunia  seni,  yang  tertarik  “kelainan”  ekspresinya. 

“Pak Wi memiliki ekspresi  primer, tidak  disadari  sebagai  ekspresi;  tekniknya  spontan, tidak disadari sebagai teknik; temanya ada,  tanpa  disadari  keberadaannya,” ujar Couteu.
 
Menurut Putu Aryastawa, penanggunjawab pameran diskusi art brut ini akan dibahas pula perihal posisi para seniman yang terpinggirkan tersebut dalam dunia seni rupa Indonesia bahkan dunia.

Termasuk perkembangan seni rupa art brut internasional. Selain itu, muncul pula pertanyaan; sungguhkan seni-seni yang dianggap art brut atau yang sepenuhnya mencerminkan orisinalitas senimannya hanya dapat dilahirkan melalui fenomena gangguan mental atau alam bawah sadar.

Istilah art brut dicetuskan pertama kali Jean Dubuffet, seniman Perancis yang mengumpullkan karya-karya seorang pasien rumah sakit jiwa bernama Adolf Wolfli (1864- 1930).

Konsep Art Brut mengacu pada karya-karya seni dari dunia ‘luar’, melampaui alam bawah sadar, di mana ‘insting, nafsu, marginalitas, dan kekuatan purba dan delirium’ berpotensi dalam kreativitas seni.

Dia dianggap setara dengan art nhgre  atau African Art. Pada tahun 1972, seorang kritikus seni dari Inggris, Rogers Cardinal,  kemudian menyebutnya sebagai outsider art. (gek)

Berita Lainnya

Terkini