Kasus Penyuapan AKBP Bintoro Jadi Indikasi Rusaknya Kultur Penyidik Polri

5 Februari 2025, 11:25 WIB

Jakarta – Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Cipta Mandiri Aceh, Dr. Khausar, menilai kasus penyuapan oleh tersangka AN, anak bos Prodia, yang menyeret mantan Kasatreskrim Polres Metro Jakarta Selatan, AKBP Bintoro, serta keterlibatan AKBP Gogo Galesung dan beberapa penyidik Polres Metro Jakarta Selatan, merupakan indikasi rusaknya sistem dan kultur di tubuh kepolisian, khususnya di kalangan penyidik Polri.

Ia menegaskan bahwa sekadar memberikan hukuman kepada para pelaku tidak cukup untuk menghentikan masalah yang sudah menjadi budaya dalam institusi tersebut.

“Reformasi total di tubuh Polri menjadi satu-satunya jalan keluar untuk mengembalikan kepercayaan publik”, katanya dalam keterangan tertulisnya.

Ia menegaskan, Kita tidak bisa lagi menutup mata. Kasus ini adalah sinyal kuat bahwa sistem pengawasan internal di Polri gagal berfungsi dengan baik.

“Jika dibiarkan, situasi ini akan terus berulang dan semakin memperburuk citra institusi kepolisian di mata masyarakat,” ujar Dr. Khausar.

Ia menyoroti bagaimana penanganan kasus-kasus besar sebelumnya justru menunjukkan lemahnya mekanisme penegakan disiplin di internal Polri.

“Salah satu contoh yang disampaikan adalah kasus Ferdy Sambo yang menyeret sejumlah perwira tinggi Polri. Ironisnya, tidak sedikit dari perwira yang terlibat kini justru sudah mendapat promosi jabatan dalam waktu kurang dari dua tahun,” ungkapnya.

Dalam perspektif kebijakan publik, Dr. Khausar menilai bahwa pembiaran seperti ini menandakan adanya ketidakkonsistenan dalam penerapan sanksi dan prinsip meritokrasi di tubuh Polri.

“Padahal, dalam kerangka reformasi birokrasi, penegakan hukum yang tegas dan konsisten adalah elemen kunci untuk mewujudkan institusi yang bersih dan profesional”, katanya.

Ia juga mempertanyakan keseriusan Presiden Prabowo Subianto dalam menangani permasalahan ini.

“Publik kini menunggu apakah Presiden Prabowo yang dikenal tegas akan benar-benar berani melakukan reformasi total di tubuh Polri, atau apakah ini hanya akan menjadi sekadar retorika belaka,” tambahnya.

Dr. Khausar menilai bahwa reformasi yang diperlukan bukan hanya bersifat kosmetik atau terbatas pada pergantian pejabat, melainkan harus menyentuh aspek sistemik, termasuk evaluasi total terhadap rekrutmen, promosi jabatan, dan pengawasan terhadap perilaku aparat”, tegasnya.

Lebih lanjut Ia mengatakan, jika reformasi hanya dilakukan setengah hati, institusi Polri tidak akan berubah.

“Maka jangan berharap ada perubahan signifikan di masa mendatang,” ujarnya.

Dari sisi hukum, ia menekankan pentingnya revisi terhadap peraturan internal Polri yang selama ini dianggap masih lemah dalam memberikan efek jera.

“Hukuman administratif saja, menurutnya, tidak akan cukup untuk mencegah praktik-praktik korupsi di masa depan. Perlu ada integrasi antara sanksi hukum pidana yang tegas dan pengawasan eksternal yang independen”, bebernya.

Lebih jauh, Dr. Khausar mendorong keterlibatan masyarakat sipil dan lembaga independen dalam mengawasi proses reformasi di tubuh Polri.

“Pengawasan yang efektif harus melibatkan semua elemen masyarakat. Tanpa kontrol publik, reformasi hanya akan menjadi slogan tanpa tindakan nyata,” katanya.

Kasus penyuapan yang melibatkan para perwira Polres Metro Jakarta Selatan ini, menurut Dr. Khausar, harus menjadi momentum untuk melakukan introspeksi dan perbaikan menyeluruh.

“Publik berharap Presiden Prabowo bisa menjawab tantangan ini dengan langkah konkret, bukan sekadar janji politik. Kini semua mata tertuju pada Presiden. Apakah ia akan mengambil langkah berani atau justru memilih jalan aman dengan membiarkan masalah ini berlalu begitu saja?” tutupnya.***

Berita Lainnya

Terkini