Tak Sebatas Humor, Karikatur Sarana Kritisi Kondisi Sosial Masyarakat

19 Maret 2019, 06:38 WIB
Program Kelas Kreatif Karikatur di Bentara Budaya Bali

Denpasar – Karikatur bukan semata menampilkan humor atau kelucuan, namun juga dapat menjadi sarana menyampaikan opini dan mengkritisi situasi sosial di masyarakat. Hal tersebut diulas dalam program Kelas Kreatif Karikatur di Bentara Budaya Bali (BBB), akhir pekan lalu.

Acara bertajuk “Gores Garis Figur Bertutur” menghadirkan I Wayan Nuriarta, kartunis yang dosen Desain Komunikasi Visual di ISI Denpasar.

Kelas Kreatif ini merupakan kelanjutan dari lokakarya seputar Ikonik Dunia Kartun Indonesia yang digelar terdahulu bersama kartunis Jango Pramartha (Ketua Indonesian Cartoonist Association 2005-2010).

Bila sebelumnya dibincangkan perihal sosok-sosok ikonik dunia kartun Indonesia, berikut proses cipta dan latar sosial kultural kelahirannya, kini lebih difokuskan pada seluk beluk kartun editorial yang muncul berkala di media massa.

Pada program ini diulas perihal sejarah dan perkembangan kartun dan karikatur. Karikatur sebagaimana dikenal sekarang ini bermula pertama kali di Italia pada abad ke-16, dari kata caricare, berarti kecenderungan melebih-lebihkan.

Nuriarta memaparkan, perkembangan dan periodisasi seni karikatur dan kartun editorial di Indonesia, berikut peran kehadirannya di media massa dalam mengkritisi situasi sosial yang berkembang di masyarakat.

Termasuk hal-hal apa saja yang patut diperhatikan kartunis sewaktu membuat karikatur yang kritis, namun tidak kehilangan kesan humor serta tidak menyinggung penguasa. Hal utama yang harus diperhatikan seorang kartunis sewaktu membuat karikatur yaitu harus memiliki sumber yang tepercaya.

“Selain itu kita tidak boleh menyebut nama tokoh tertentu secara langsung, serta jangan menggunakan simbol-simbol agama dan tidak menampilkan pornografi,” tegasnya.

Sebuah karikatur dapat menggiring opini publik terhadap suatu fenomena tertentu, namun di saat bersamaan juga ada kalimat atau istilah yang diplesetkan untuk menjaga kesan humor serta tidak secara langsung menyinggung pihak tertentu.

Kartun editorial selama ini lebih mengemuka sebagai sarana kritik sosial dan politis. Gambar-gambar dalam kartun editorial bukan semata luapan bebas dari gores garis sang kreator, melainkan menuntut pula kesanggupan penciptanya untuk mengedepankan unsur hiperbola dan satir dalam mengkritisi problematik sosial, politik, semisal korupsi.

Tidak mengherankan bila sosok-sosok dalam kartun editorial ini dikenal publik sebagai figur-figur yang bertutur. Giliran berikutnya, berbagai majalah satire menjadi media utama karikatur; peran yang kemudian dilanjutkan oleh surat kabar harian pada abad ke-20.

Di Indonesia sendiri, dunia kartun memiliki sejarah yang terbilang panjang, terutama sosok – sosok ikoniknya yang sohor dan diterbitkan di media massa, semisal: Oom Pasikom (karya GM Sudarta), Wayang Mbeling (Gunawan Pranyoto), Panji Koming (Dwi Kundoro), dan Si Keong (Pramono R. Pramoedjo).

Termasuk sosok ikonik buah karya kartunis Bali, semisal: Si Gug (Jango Pramartha), Sangut Delem (Gus Martin), Bang Nus (Cece Riberu), Brewok (Gun Gun), Mr. Bali (Surya Dharma), dan Si Sompret (Wayan Sadha).

Sebagai kartunis, ada tiga hal penting ketika akan membuat karikatur. Pertama, kartun harus terlepas dari hoax atau informasi bohong, caranya mencari referensi tepercaya. “Kedua, saya orang Bali, maka kartun saya harus juga mencerminkan sisi budaya Bali,” tuturnya. Terakhir, kartun yang dia buat selalu disertai “bukti” seperti dari pemberitaan di media .

Kelas Kreatif ini juga tertaut program Pameran Kartun Ber(b)isik yang akan berlangsung di Bentara Budaya Bali pada 29 Maret-9 April 2019, menampilkan kartunis Beng Rahadian, Didie SW, Ika W. Burhan, Mice Cartoon, Rahardi Handining dan Thomdean. (des)

Berita Lainnya

Terkini