Begini Cara Perupa Kritisi Modernitas Kuta

31 Desember 2013, 22:10 WIB
Karya perupa Kuta (istimewa)

Kabarnusa.com, Denpasar – Para perupa Kuta mengekspresikan karya seninya dalam merespons dan mengkritisi perubahan dan arus modernitas yang terjadi demikian cepat dk Kampung Turis itu.
 

Mereka menampilkan 132 karya seni rupa yang digelar dalam pameran sejak tanggal 30 Desember 2013 hingga 26 Januari 2014, di Alas Arum, Jl. Raya Seminyak, Kuta.

“Ini juga sebagai upaya membangkitkan kembali gairah seni rupa di Kuta, ” koordinator pemaran Tatang Bsp Selasa (31/12/2013).

Kepanitian yang terdiri dari Tim Kecil merupakan gabungan perupa dari wilayah Kuta dan luar Kuta, menggelar pameran akbar bertajuk  “Kuta Art Chromatic”.

Pameran ini dihadiri dan rencananya akan dibuka Menteri BUMN, Dahlan Iskan, pada hari Senin 30 Desember 2013 malam.

Tatang menjelaskan, kegiatan digagas awal Januari 2013 dalam sebuah diskusi di Zoom Art Gallery yang berlokasi di Pengubengan Kauh, Kerobokan, Kuta Utara.

Gagasan itu kemudian direspon para perupa di Kuta yang tergabung dalam Komunitas Sinergi Rupa dan  perupa dari luar Kuta.

Kata dia, pameran mengambil tema “Kuta Art Chromatic” terselenggara berkat semangat kebersamaan kawan-kawan perupa untuk menghidupkan kembali gairah berkesenian di Kuta.

chromatic pada event ini mengacu pada warna dalam pengertian konotatif yang bisa berarti corak, ragam karakter atau kompleksitas persoalan. 

“Kami berusaha menelisik bagaimana seniman merespon wilayah cosmopolitan Kuta ini, “jelasnya.

Selain itu, ikut memberi aneka warna dalam beragam perspektif pemaknaan dengan bergerak lincah di antara fragmen-fragmen peristiwa atau kejadian di Kuta dan dengan sengaja menyajikan reaksi terhadapnya.

Dengan begitu, Kuta bisa lebih berwarna (chromatic) di mata pariwisata dan khususnya dalam kajian seni rupa.

Kuta Art-Chromatic merupakan event yang terselenggara untuk membangun dan memetakan kantung-kantung seni rupa yang tumbuh dan berkembang di Bali, khususnya Kuta.

Sebagai barometer dunia pariwisata, Kuta sangat memungkinkan tumbuh dan berkembangnya karya-karya seni yang sudah sepantasnya bisa diapresiasi secara luas.

“Diharapkan, hadir karya-karya yang mendeskripsikan, memotret, atau  merefleksikan situasi kondisi Kuta dengan tampilan yang kaya warna dan wacana, kreatif serta inovatif,”  imbuh dia.

Kuta tidak lagi bisa dirangkum dalam pengertian sebagaimana tempat-tempat lain yang mudah ditelusuri kerangka tradisionalnya secara utuh.

Diketahui, awalnya Kuta sebuah kampung nelayan. Semenjak tahun 60-an Kuta lalu berkembang menjadi industri wisata dan menjadi tempat persinggahan para turis asing.

Riwayat ini tentu bisa menjadi sebuah potret kecil dari perkembangan global di kemudian hari. Sebuah persentuhan pelbagai penjuru dunia, membawa konsekuensi Kuta menjadi wilayah kosmopolitan.

Pameran ini tak hanya menampilkan seni lukis, namun juga seni patung, instalasi, video art, mural, grafiti, fotografi, grafis, dan seni batik.
Selain itu, di sela-sela pameran, digelar berbagai jenis performance art, public art, diskusi seni, dan berbagai workshop seni yang tersebar di beberapa tempat.

Sejumlah perupa berupaya mengeksplorasi budaya kosmopolitan dan budaya pop yang menjadi ciri khas Kuta masa kini.

Hal itu misalnya bisa dilihat pada karya Tatang Bsp, Wayan Redika, Helena S. Arway, Herry Yahya, Hendry Jenin, Heru Setiawan, Nyoman Endra, Lusyani Ussy, Ni Luh Gede Widiyani, Ricky Karamoy, Rudi Bagong, Welldo Wnophringgo, Alvin Savato, Andik S. Bejo, Ari Lancor, Basugiart, Ketut Agus Murdika, I Gede Pande Paramartha, DP Arsa, Eko Setyo Hadi.

Persoalan krisis identitas, keterasingan manusia, benturan lokal-global, konflik tradisi-modern, menjadi tema yang tak pernah basi untuk dieksplorasi, terlebih ketika berbicara problematika kehidupan di Kuta.

Hal itu tampak pada karya-karya Gungde Jaya Wikrama, Anthok Sudarwanto, Djamur Community, Emile Satyawarman, Bijal, Gede Sugiada, IB Putu Radnyana, IB Suryantara dan lainnya.

Kuta yang dikenal eksotis dengan pantai pasir putih dan ombak memukau, melahirkan problematika tata ruang dan ekologi yang tak berkesudahan.

Persoalan sampah, kemacetan, kerusakan jalan, polusi udara, polusi lingkungan, berpadu dengan persoalan tata ruang Kuta yang makin semrawut.

Problematika ini direspon dan dieksplorasi oleh A.A. Gde Ngurah Bayu Kesumaputra, Bambang Ariana, Maryani Pelupessy, Bambang Rombeng, Elyezer, Galung Wiratmaja, Hendi, Kadek Eko, Ketut Suasana Kabul, Ketut Suwidiarta, Martin Sitepu, Citra Sasmita, Nyoman Sujana Kenyem, Raden Prakiyul, Zainal.

Dengan kecerdasan dan sikap kritis, sesungguhnya Kuta menawarkan banyak kemungkinan untuk dieksplorasi ke dalam karya-karya seni rupa.

Namun, di luar itu semua, pameran yang digarap dengan modal kebersamaan ini diharapkan mampu memicu gairah berkesenian di Kuta ke arah yang lebih masif dan kondusif. (gek)

Berita Lainnya

Terkini