Buku “Jais Darga Namaku”, Mengenal Art Dealer Perempuan Pertama Indonesia

29 Desember 2018, 18:41 WIB
Art dealer Jais Hadiana Dargawidjaja/istimewa

DENPASAR – Buku “Jais Darga Namaku” (penerbit KPG, 2018), merupakan autobiografi (as told to), mengungkapkan sosok serta pergulatan hidup Jais Hadiana Dargawidjaja, seorang art dealer perempuan pertama di Indonesia dengan segala ambisinya.

Buku itu dibedah melalui program Pustaka Bentara, Bentara Budaya Bali (BBB), Kamis (27/12/2018).

Buku ditulis Ahda Imran ini mengetengahkan latar belakang kehidupan keluarga menak Sunda, dunia anak muda Kota Bandung 1970-an, hingga bisnis seni rupa di Paris, London, Amsterdam, New York, Singapura, dan Hongkong.

Bukan saja seputar sosok Jais Darga, yang dihadirkan dalam buku ini, tapi juga pergulatan hidup seorang perempuan, seorang anak, seorang istri dan ibu. Berbaur dengan ambisi dan pergulatannya dalam dunia bisnis, dan berlapisan kisah lainnya.

Sebagai pembahas yakni penyair dan pemerhati seni budaya Nirwan Dewanto, dan penulis

buku, Ahda Imran.

Pada acara yang bekerja sama dengan penerbit KPG ini, bukan saja diungkap perihal proses kreatif penulisan buku “Jais Darga Namaku”, juga menguraikan pencapaian susastranya, dipandu oleh Putu Fajar Arcana.

“Buku ini mengungkapkan pada saya aspek-aspek mendalam jual beli seni oleh satu-satunya art dealer di Indonesia yang merintis karirnya dari bawah hingga memasuki balai lelang di kota-kota besar di Eropa dan New York. Dan hanya satu orang (Jais Darga) yang mampu memasuki balai-balai lelang sebesar itu,” ungkap Nirwan .

Nirwan menyebutkan bahwa bila kita tidak mengenal atau mengesampingkan pribadi Jais, maka kita bisa membaca buku ini sebagai sebuah roman atau novel. “Ada tiga alasan mengapa kita harus membaca buku ini.

Pertama, Jais ini menjadi eksemplar dari perempuan Indonesia yang bisa meloloskan dirinya dari lingkungan asalnya dan menjadi manusia yang lain (manusia dunia). Kedua, agar kita lebih mengetahui dunia perdagangan seni kita.

Ketiga, kita, khususnya di Indonesia punya permasalahan sulit keluar dari lingkungan asal usulnya. Sementara si “aku” di buku ini melawan itu semua, dalam pengertian yang baik,” ujar Nirwan.

Sang penulis buku, Ahda Imran, berbagi pengalaman dan proses penulisan buku setebal 500 halaman yang dikerjakannya selama lebih dari 3 tahun. Selama proses penulisan buku ini, Jais menyerahkan sepenuhnya konstruksi, termasuk gaya penulisan buku ini sehingga saya memiliki keleluasaan sebagai penulis.

“Dalam penulisan autobiografi atau biografi, saya ingin menekankan pada subjek penulisan bahwa saya tidak menulis untuk konstruksi citraan dia, maka saya meminta kepada Teh Jais untuk membuka seluruh dirinya. Saya ingin mendapatkan chemistry dalam kehidupan dia termasuk pada hal-hal yang sangat mendetail,” ucap Ahda.

Ahda juga sempat melakukan meriset tempat-tempat di Paris selama 2 minggu, termasuk ke Amsterdam tempat Jais pernah tinggal dulu.

Bahkan bersama Jais berkesempatan bertemu dan mewawancarai Enrico Navarra, salah seorang kolektor besar yang mengoleksi karya-karya Basquiat tentang kondisi art market di Eropa pada masa 90-an, dimana kala itu Jais Darga menjadi pembeli karya seni di Paris.

“Saya tidak berpretensi menampilkan Jais Darga secara faktual. Buku ini adalah pengalaman saya melihat Jais Darga. Jadi setiap orang mungkin punya pengalaman dan perspektif yang berbeda tentang Jais,” paparnya.

Hadir pula seniman dan budayawan yang juga sahabat Jais Darga, antara lain pemilik ARMA Museum, Anak Agung Rai, Putu Wirata Dwikora, Wayan Juniartha, Putu Suasta, Pino Confessa, Hartanto. Mereka turut berbagi kisah perjumpaan serta persahabatan dengan Jais selama puluhan tahun.

Selain itu hadir pula kritikus Prof. Dr. Nyoman Darma Putra, penyair dan penulis seni budaya Adi Wicaksono, dramawan Abu Bakar, seniman Made Kaek, Made Supena, Made Sumadiyasa, Wayan Jengki Sunarta, Oka Rusmini, Arif Bagus Prasetya, juga Mas Ruscitadewi dan lain-lain.

“Saya tidak akan sampai pada pencapaian saat ini tanpa sahabat-sahabat saya. Saya memulai karir di Bandung dan Jakarta, tapi saya merasa tumbuh dan paling genah di Bali, karena saya selalu dibantu oleh sahabat-sahabat saya,” ucap Jais.

Dia berpesan agar generasi muda percaya diri. Tidak boleh rendah diri, harus berani dan harus bisa. Tidak ada halangan, baik bahasa, suku, agama. “Kita harus selalu melangkah dan tidak ada kata tidak bisa, kecuali takdir. Bali adalah rumah saya, ” ujar Jais. (rhm)

Berita Lainnya

Terkini