Ekonom Konstitusi, Defiyan Cori/istimewa |
Polemik atas neraca perdagangan dan pembayaran yang terjadi dalam struktur kinerja ekonomi makro Indonesia sudah mulai tidak masuk akal dan sehat. Defisit neraca perdagangan telah terjadi sejak lama, bahkan sejak era pemerintahan Orde Baru, dan menyalahkan serta mempolitisasi defisit neraca perdagangan yang saat ini terjadi berarti tak memperhatikan kontek dan dampak sebuah kebijakan saat ini dan yang telah terjadi di masa lalu.
Berbagai ekonom dan banyak pihak (termasuk politisi yang mengaku ekonom) seolah-olah alpa atas substansi permasalahan defisit neraca perdagangan yang terjadi saat ini dengan kondisi faktual (rill) atas penguasaan sektor hulu industri Indonesia.
Perlu dicatat, bahwa pada Tahun 1974 Indonesia pernah mengalami musim semi hasil minyak bumi yang sangat membantu pemerintahan kala itu dalam mensukseskan program-program pembangunan sampai akhirnya tercapai swasembada beras pada Tahun 1984.
Kebijakan Industri
Swasembada ini adalah kinerja yang baik di era almarhum Presiden Soeharto tersebut, namun prestasi ini tidak ditindaklanjuti oleh kebijakan hulu-hilir pangan (hilirisasi) yang komprehensif, termasuk kekeliruan dalam mengambil kebijakan paket Oktober 1988 yang meliberalisasi dan debirokratisasi sektor keuangan sehingga akhirnya “senjata makan tuan” dan menemukan dampak kebijakan ini pada Tahun 1997 dan secara politik pada Tahun 1998.
Momentum keberhasilan sektor minyak bumi menghasilkan penerimaan bagi negara (devisa) tak mampu dikelola secara efektif dan efisien, bahkan banyak dimanfaatkan untuk sektor konsumtif dan mengundang asing untuk membuka produksi industrinya di dalam negeri.
Kondisi ini jelas memperparah sektor industri dalam negeri yang sudah lama berjalan dan jauh dari perhatian pemerintah, sampai akhirnya ketergantungan impor barang modal meluas ke impor bahan pangan dan penerimaan negara semakin berkurang dari sektor minyak bumi.
Jadi, menunjuk kesalahan pada pemerintahan Presiden Joko Widodo yang dituduhkan oleh Tim Pemenangan pasangan Prabowo-Sandi Uno, tidaklah sepenuhnya benar, sebab konteks dampak dan tekanan yang dihadapi oleh pemerintah saat ini berbeda dengan kondisi yang terjadi pada masa lalu.
Dan, pemerintah dalam hal ini juga tidak tinggal diam dengan defisit neraca perdagangan yang terjadi saat ini, beberapa kebijakan pelarangan impor sedang dijalankan, dan mudah-mudahan akan tampak hasilnya pada Tahun 2019.
Hal ini akan berhasil dengan catatan, bahwa pemerintah akan lebih memperhatikan sektor-sektor industri strategis dan menguasai hajat hidup orang banyak yang dimandatkan oleh konstitusi ekonomi, pasal 33 UUD 1945 serta adanya kebijakan pemihakan (affirmative) pada kelompok usaha skala Mikro, Kecil dan Menengah.
Memperluas negara tujuan ekspor produk-produk industri dalam negeri yang memiliki Tingkat Kandungan Dalam Negeri dengan persentase lebih besar. Mudah-mudahan kebijakan dan langkah-langkah ini akan efektif mengurangi defisit neraca perdagangan yang terjadi saat ini dan konsisten dalam kebijakan larangan impor barang modal, substitusi impor dan bahan pangan.
* Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi, alumnus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta