Dua Maestro Seni Berko di Bali, Riwayatmu Kini

gelar maestro seni Berko, seni sakral dan langka diberikan kepada pasangan suami istri seniman Bali Nengah Tuntun dan Ketut Nepa.

21 Maret 2016, 22:29 WIB

Jembrana – Pasangan suami istri Nengah Tuntun (95) dan Ni Ketut Nepa (90) asal Kabupaten Jembrana satu dari sedikit seniman Bali yang menyandang gelar maestro seni Berko, seni sakral dan langka.

Namun, dedikasi dalam berkesenian dalam hidup mereka, tidak lantas membuat kehidupan pasangan ini hidup bekecupan.

Ironisnya, keduanua kini justru terbelenggu kemiskinan di tengah nama besar sebagai seniman tua. Pasutri asal Lingkungan Pancar Dawa, Kelurahan Pendem, Kecamatan Jembrana merupakan seniman  Berko yang masih tersisa saat ini.

Diketahui, seni Berko merupakan kesenian tua dan sakral asli Jembrana, yang memadukan gambelan dari bambu dan gambelan perunggu, kemudian dipadukan dengan tarian yang indah.

Semasa zaman penjajahan, sekitar tahun 1925, dunia kesenian yang digeluti pasangan ini sempat berjaya.

“Saya bersama suami sering tampil keliling ke desa sampai ke puri, kadang diundang pemerintah Jepang,” tutur Nepa kepada wartawan Senin (21/3/2016).

Saat pendudukan Jepang, antara 1942 sampai tahun 1945, tentara Nipon menggemari kesenian ini. Bisa disebut, Nepa dan suaminya  tergolong seniman paling laris di masanya.

Diakuinya, kala itu, tidak memikirkan upah menari, yang penting bisa tampil menari, menghibur masyarakat membuat mereka puas.

Meskipun diakuinya, kadang ada yang memberiuang atau beras sebagai imbalan. Fenomenalnya seni Berko saat itu, membuat pasutri ini terus menekuni seni langka itu.

Mereka sempat menularkan ilmunya kepada generasi muda, hingga banyak bermunculan seniman-seniman Berko di Jembrana.

Sayangnya memasuki era 70-an, kesenian yang pernah berjaya di zaman pergerakan ini, mulai meredup kehilangan pamor.

Menurut Nepa, puncaknya di tahun 1980, kesenian ini tenggelam lantaran tidak adanya perhatian pemerintah.

Meski kesenian itu terancam punah, namun keduanya tak menyerah untuk mengajarkan tari Berko ini kepada gerasi muda, meskipun kami tidak di bayar.

“Kami ingin membangkitkan kesenian ini kembali,” harapnya.

Sayangnya, dedikasi dan pengabdian kedua seniman ini yang begitu besar untuk membangkitkan seni Berko di Jembrana, tidak mendapat perhatian pemerintah.

Kedua seniman tua itu kini, mulai didera berbagai keterbatasan fisik. Bahkan, tragisnya terbelenggu dengan kemiskinan.

Rumah satu-satunya untuk tempat berteduh pasutri ini hanya berukuran kecil, tidak lebih dari 4×6 meter. Rumah tak layak huni itu, hanya berdinding gedeg bambu usang dan berlantai semen yang sudah mengelupas.(dar)

Berita Lainnya

Terkini