Jakarta – Dalam beberapa tahun terakhir, kompleksitas ancaman terhadap kedaulatan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) telah meningkat secara signifikan. Tidak hanya menghadapi ancaman militer konvensional, Indonesia kini juga dihadapkan pada tantangan non-tradisional, hal tersebut diungkapkan Peneliti Kajian Keamanan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Abdul Haris Fatgehipon.
“Pengalaman pahit pandemi global seperti Covid-19, kebocoran pusat data nasional (PDN), serta perang yang bergeser ke bentuk yang lebih absurd dan sulit diprediksi di era VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity) meningkatkan kompleksitas ancaman nasional”, katanya.
Menurutnya, berbagai ancaman ini tidak hanya menguji kemampuan pertahanan fisik negara, tetapi juga mempengaruhi stabilitas sosial, ekonomi, dan politik, menuntut respons yang lebih holistik dan terkoordinasi dari berbagai komponen nasional termasuk Tentara Nasional Indonesia sebagai komponen utama pertahanan negara.
“Berbagai ancaman nasional yang begitu kompleks telah menjadi ancaman nyata terhadap kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI. Dalam konteks ini, TNI memiliki peran krusial yang perlu diadaptasi sesuai dengan dinamika ancaman yang dihadapi”, jelasnya.
Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan FIS UNJ ini berpendapat bahwa secara tradisional, peran TNI lebih banyak berfokus pada pertahanan fisik dan militer saja saat ini.
“Dengan ancaman yang semakin kompleks, semestinya TNI harus memperluas cakupan perannya untuk mencakup berbagai aspek non-militer seperti keamanan siber dan penanganan krisis kesehatan seperti mitigasi dan penanggulangan pandemi Covid-19 lalu”, tukasnya.
Namun, baginya terdapat kekhawatiran terhadap Rancangan UU TNI yang belum memperhatikan dinamika ancaman yang semakin kompleks tersebut.
“Dalam RUU TNI inisiasi DPR hanya memuat pasal penambahan usia pensiun dan menduduki jabatan sipil, hal ini belum substantif dalam menjawab ancaman nasional yang semakin kompleks”, katanya.
Ia berpendapat perlu ada solusi konkret pemerintah agar lebih sensitif supaya Indonesia tidak masuk dalam negara gagal “failed state”.
“Berbahaya sekali jika kita tidak sensitif melihat fakta aktual yang terjadi, bisa-bisa kita masuk dalam failed state, berbahaya sekali jika kita benar-benar mengalami keruntuhan fungsi dasar pemerintahan, kehilangan kendali atas wilayahnya, serta tidak mampu memberikan layanan publik yang memadai kepada warganya termasuk melindungi privasi data pribadi digitalnya”, tegasnya.
Ia melanjutkan, kebocoran pusat data nasional (PDN) menunjukkan bahwa ancaman siber semakin nyata dan memerlukan perhatian serius dari komponen utama pertahanan negara, sebab baginya perlindungan infrastruktur kritis termasuk data nasional merupakan komponen penting dari pertahanan negara.
“Berdasarkan teori keamanan siber menurut Richard A. Clarke, Ia merupakan mantan koordinator keamanan siber di Gedung Putih Amerika Serikat yang menulis “Cyber War,” sebuah buku yang membahas potensi konflik berskala besar yang melibatkan serangan siber. Dari masalah bobolnya PDN, jadi pelajaran berharga bagi kita, pentingnya kesiapan nasional dalam menghadapi ancaman siber, sehingga Indonesia perlu memperkuat TNI nya untuk mengembangkan kemampuan siber yang tangguh termasuk pengembangan unit siber khusus yang mampu mendeteksi, mencegah, dan merespons serangan siber, yang tentunya adanya kolaborasi dengan lembaga-lembaga lain seperti Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) untuk menciptakan ekosistem pertahanan siber yang tangguh”, bebernya.
Ia pun menyarankan pemerintah perlu memperkuat peran TNI dalam mendukung penanganan krisis kesehatan agar kita lebih tangguh dalam menghadapi pandami yang serupa di masa depan.
“Ancaman terhadap kesehatan masyarakat merupakan salah satu dimensi penting dari keamanan nasional. Oleh karena itu, TNI perlu didukung agar lebih tangguh mendeteksi, memitigasi dan menanggulangi pandemi serupa, sehingga manajemen krisis dapat dioptimalkan untuk mendukung respons nasional terhadap pandemi ini di masa depan”, tutupnya.***