Jakarta – Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menjatuhkan sanksi denda yang beragam kepada 7 pelaku usaha sebagai Terlapor dalam perkara dugaan pelanggaran penjualan minyak goreng kemasan dengan total denda mencapai Rp71,28 Miliar.
Pembacakan Putusan atas Perkara Nomor 15/KPPU-I/2022 tentang Dugaan Pelanggaran Pasal 5 dan Pasal 19 Huruf c dalam Penjualan Minyak Goreng Kemasan di Indonesia tanggal 26 Mei 2023 di Kantor Pusat KPPU Jakarta.
Dalam Putusannya, Majelis Komisi yang terdiri dari Dinni Melanie, S.H., M.E., sebagai Ketua Majelis Komisi; serta Dr. Guntur Syahputra Saragih, M.S.M dan Ukay Karyadi, S.E., M.E., masing-masing sebagai Anggota Majelis Komisi menyatakan bahwa ke-27 Terlapor dalam perkara tidak terbukti melanggar pasal 5 (terkait penetapan harga).
Namun Majelis Komisi memutuskan bahwa 7 (tujuh) Terlapor, yakni Terlapor I, Terlapor II, Terlapor V, Terlapor XVIII, Terlapor XX, Terlapor XXIII dan Terlapor XXIV secara sah dan meyakinkan terbukti melanggar Pasal 19 huruf c (terkait pembatasan peredaran/penjualan barang).
Atas pelanggaran di atas, KPPU menjatuhkan besaran sanksi denda yang beragam kepada 7 (tujuh) Terlapor, total denda mencapai Rp71.280.000.000 (tujuh puluh satu miliar dua ratus delapan puluh juta rupiah).
Kasusnya merupakan insiatif KPPU berkaitan dugaan pelanggaran Pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 1999 oleh para Terlapor pada periode bulan Oktober 2021 sampai dengan bulan Desember 2021, dan periode bulan Maret 2022 sampai dengan bulan Mei 2022.
Para Terlapor diduga melakukan pelanggaran Pasal 19 huruf c UU Nomor 5 Tahun 1999 pada periode bulan Januari 2022 sampai dengan bulan Mei 2022 dalam penjualan minyak goreng kemasan di Indonesia.
Kasusnya bergulir hingga proses Pemeriksaan oleh Majelis Komisi. Pemeriksaan Pendahuluan atas perkara ini dilakukan Majelis Komisi sejak tanggal 20 Oktober 2022 dan dilanjutkan dengan Pemeriksaan Lanjutan sejak tanggal 25 November 2022, serta perpanjangan Pemeriksaan Lanjutan hingga tanggal 4 April 2023.
Majelis Komisi dalam putusannnya menjelaskan pasar bersangkutan dalam perkara a quo adalah penjualan minyak goreng kemasan dengan bahan baku kelapa sawit di seluruh wilayah Indonesia.
Struktur pasar dalam industri minyak goreng disimpulkan sebagai oligopoli ketat dengan konsentrasi pasar tinggi (yakni dengan konsentrasi rasio empat grup pelaku usaha sebesar 71,52%), memiliki produk yang homogen dan berbagai hambatan masuk pasar.
Ini mempengaruhi perilaku pelaku usaha dan kinerja pasar termasuk potensi terjadinya penetapan harga minyak goreng yang diduga dilakukan para Terlapor.
Dari pemeriksaan, Majelis Komisi menemukan fakta persidangan berdasarkan rasio input dan output di sektor tersebut, pada periode pelanggaran lebih besar daripada rasio sebelum periode pelanggaran.
Ini menunjukan kenaikan harga pada periode pelanggaran terjadi akibat adanya kenaikan harga input, sehingga margin keuntungan yang diperoleh menjadi semakin kecil.
Dengan demikian para Terlapor dapat disimpulkan tidak melakukan penetapan harga untuk minyak goreng kemasan sederhana dan kemasan.
Majelis Komisi juga menemukan bahwa para Terlapor tidak patuh kepada kebijakan pemerintah terkait dengan harga eceran tertinggi (HET), yakni dengan melakukan penurunan volume produksi dan/atau volume penjualan selama periode pelanggaran.
Tindakan tersebut dilakukan secara sengaja untuk mempengaruhi kebijakan HET.
Faktanya, pada saat kebijakan HET dicabut, serta merta pasokan minyak goreng kemasan kembali tersedia di pasar dengan harga yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan harga sebelum terbitnya kebijakan HET.
Ketidakpatuhan ini menimbulkan kelangkaan minyak goreng yang berakibat pada penurunan kesejahteraan (deadweight loss) masyarakat.
Perilaku penurunan volume produksi dan/atau volume penjualan pada periode pelanggaran meskipun bahan baku tersedia ini, merupakan perilaku pelaku usaha yang tidak jujur dan menghambat persaingan usaha dalam melakukan kegiatan produksi dan/atau pemasaran minyak goreng kemasan.
Sehingga Majelis Komisi menyimpulkan telah terjadi dampak pelanggaran Pasal 19 huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
Berdasarkan hasil persidangan, Majelis Komisi memutuskan beberapa hal berikut:
- Seluruh Terlapor tidak terbukti melanggar Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999;
- Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor VI, Terlapor VII, Terlapor VIII, Terlapor IX, Terlapor X, Terlapor XI, Terlapor XII, Terlapor XIII, Terlapor XIV, Terlapor XV, Terlapor XVI, Terlapor XVII, Terlapor XIX, Terlapor XXI, Terlapor XXII, Terlapor XXV, Terlapor XXVI dan Terlapor XXVII tidak terbukti melanggar Pasal 19 huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999;
- Terlapor I, Terlapor II, Terlapor V, Terlapor XVIII, Terlapor XX, Terlapor XXIII dan Terlapor XXIV secara sah dan meyakinkan terbukti melanggar Pasal 19 huruf c UndangUndang Nomor 5 Tahun 1999;
- Menghukum Terlapor I PT Asianagro Agungjaya membayar denda sejumlah Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah);
- Menghukum Terlapor II PT Batara Elok Semesta Terpadu membayar denda sejumlah Rp15.246.000.000,00 (lima belas miliar dua ratus empat puluh enam juta rupiah);
- Menghukum Terlapor V PT Incasi Raya membayar denda sejumlah Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah);
- Menghukum Terlapor XVIII PT Salim Ivomas Pratama, Tbk membayar denda sejumlah Rp40.887.000.000,00 (empat puluh miliar delapan ratus delapan puluh tujuh juta rupiah;
- Menghukum Terlapor XX PT Budi Nabati Perkasa membayar denda sejumlah Rp1.764.000.000,00 (satu miliar tujuh ratus enam puluh empat juta rupiah);
- Menghukum Terlapor XXIII PT Multimas Nabati Asahan membayar denda sejumlah Rp8.018.000.000,00 (delapan miliar delapan belas juta rupiah);
- Menghukum Terlapor XXIV PT Sinar Alam Permai membayar denda sejumlah Rp3.365.000.000,00 (tiga miliar tiga ratus enam puluh lima juta rupiah);
- Memerintahkan Terlapor I, Terlapor II, Terlapor V, Terlapor XVIII, Terlapor XX, Terlapor XXIII, dan Terlapor XXIV untuk melakukan pembayaran denda paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak Putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht), serta melaporkan dan menyerahkan salinan bukti pembayaran denda tersebut ke KPPU. Terlapor juga diperintahkan untuk membayar denda keterlambatan sebesar 2% (dua persen) per bulan dari nilai denda, jika terlambat melakukan pembayaran denda.
Jika mengajukan keberatan, maka ketujuh Terlapor harus menyerahkan jaminan bank sebesar 20% (dua puluh persen) dari nilai denda ke KPPU paling lama 14 (empat belas) hari setelah menerima pemberitahuan Putusan.
Dalam putusan ini juga terdapat dissenting opinion atau pendapat berbeda atas putusan dari salah satu Anggota Majelis Komisi, yakni Ukay Karyadi, S.E., M.E. yang pada intinya menyatakan bahwa seluruh Terlapor patut dinyatakan melanggar pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 1999.
Kepala Bidang Penegakan Hukum Kanwil IV KPPU Ratmawan Ari Kusnandar, menyatakan terlapor atau pelaku usaha dihimbau untuk korporatif melaksanakan putusan dan apabila keberatan maka sesuai dengan UU Cipta Kerja dan PP Nomor 44 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dapat melakukan upaya hukum yaitu keberatan ke Pengadilan Niaga di Domisili Terlapor.
“Terkait dengan putusan ini saya harap para terlapor dapat menjalankan putusan tersebut dan apabila terdapat keberatan dari terlapor,” tegas Ratnawan.
Lanjut dia, sesuai dengan UU Cipta Kerja dan PP Nomor 44 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat maka Pelaku usaha dalam hal ini Terlapor dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Niaga sesuai domisilinya
“Maksimal 14 hari kerja setelah menerima pemberitahuan putusan KPPU”, jelas Ratmawan.***