Denpasar – Gubernur Bali, Wayan Koster mengenalkan arak tradisional Bali kepada Presiden Kongres Advokat Indonesia (KAI), Adv. DR. H. Tjoetjoe Sandjaja Hernanto dan ratusan peserta lainnya dari seluruh Indonesia dalam jamuan makan malam di Jayasabha, Denpasar Minggu, 29 Mei 2022 malam.
Selain memperkenalkan Arak Tradisional Lokal Bali dihadapan peserta Rakernas KAI, Gubernur Bali, Wayan Koster juga menyuarakan perjuangan agar KAI ikut serta mengkaji sejumlah Undang – Undang, Peraturan Pemerintah atau Keppres yang terlalu ramah terhadap produk impor saat acara Rapat Kerja Nasional (Rakernas) KAI yang berlangsung pada, Senin 30 Mei 2022 di Kuta, Badung.
Gubernur Bali menyatakan, kegiatan Rakrnas KAI, memberi arti positif, sebagai upaya pemulihan pariwisata dan ekonomi Bali pasca pandemi Covid-19 yang disertai dengan melakukan toast arak tradisional lokal Bali.
Gubernur Koster Minta Jaga Kualitas Arak Bali dengan Fermentasi Secara Tradisional
“Jamuan arak Bali sudah menjadi jamuan tamu kehormatan Gubernur Bali, seperti Duta Besar hingga Menteri sudah mencoba kualitas arak Bali yang disebutnya enak sekali,” ucap Gubsernur Koster.
Saat ini, arak Bali sudah berkembang produksi arak Bali dengan kemasan yang bagus semenjak hadirnya Peraturan Gubernur Bali Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Tata Kelola Minuman Fermentasi Dan/Atau Destilasi Khas Bali.
Mantan Anggota DPR RI 3 Periode dari Fraksi PDI Perjuangan ini menceritakan bahwa dulu tidak boleh arak Bali diproduksi, karena arak dimasukan dalam daftar negatif investasi.
“Kita punya produk tradisional lokal berupa minuman di Bali, Sulawesi Utara hingga di NTT yang menjadi sumber penghidupan masyarakatnya, namun ini masuk dalam daftar negatif investasi. Jadi ini lucu, karena impor miras (Minuman Keras, red) boleh masuk, maka ini logikanya terbalik, yang lokal di larang, tapi impor boleh masuk, kapan ekonomi petani Kita kuat dan kapan
petani Kita juga mendapat manfaat,” ujar Ketua DPD PDI Perjuangan Provinsi Bali ini.
Itulah sebabnya dia mengajukan perubahan seperti, Perpres yang mengatur tentang daftar negatif investasi ini (minuman lokal tradisional di berbagai daerah.
Selain berjuang memberikan keberpihakan kepada petani yang menggeluti minuman tradisional lokal berupa arak Bali, Gubernur Koster dihadapan peserta Rakernas KAI juga menyebut ada
Keputusan Presiden (KEPPRES) Nomor 69 Tahun 1994 tentang Pengadaan Garam Beriodium.
Kata Koster, ini juga lucu. Jadi Bali ini adalah satu daerah yang memiliki produk garam yang bagus dengan citarasanya yang khas sampai hotel bintang 5 memakai garam Bali karena membuat masakannya jadi enak, hingga sampai disukai pasar ekspor seperti Jepang, Korea dan Eropa karena memiliki khasiat untuk kesehatan.
Namun ada Keppres dan dikuti dengan Peraturan Kementrian Perindustrian tentang Garam Berodium yang harus berstandar SNI menjadikan Garam Tradisional Lokal Bali bisa diekspor, tapi di Bali tidak bisa masuk ke supermarket, ke swalayan dan pasar modern lainnya, karena regulasi tersebut tidak masuk SNI akibat garam Bali itu yodiumnya kurang dari 20 persen.
“Saya pertanyakan, apa masalahnya kalau garam Bali ini kurang dari 20 persen yodiumnya. Padahal di daerah Karangasem, Klungkung, Buleleng, Jembrana penghasil garam tradisional dan Saya termasuk orang yang sudah mengkonsumsi garam lokal sejak kecil,” ucapnnya.
Jika karena kurang yodium dan dampaknya akan stunting atau gondok. ia mengira dari dulu masyarakat setempat ramai-ramai gondok atau ramai-ramai stunting, ternyata tidak ada.
Jadi teori 20 persen yodiumnya itu menurut Saya tidak akurat,” tegas Gubernur Koster
seraya menyebut atas dasar itulah Saya meminta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) merubah regulasinya, sehingga sekarang garam Bali sudah bisa masuk ke pasar modern seperti
supermarket dan swalayan melalui Surat Edaran (SE) Nomor 17 Tahun 2021 tentang Pemanfaatan Produk Garam Tradisional Lokal Bali. Tapi Saya menyarankan agar pemerintah merubah Keppres
Nomor 69 Tahun 1994, karena menghambat.
Jadi kalau bisa, walaupun ini merupakan organisasi Advokat (KAI), Koster mengusulkan supaya Rakernas KAI ini mengkaji sejumlah regulasi, ada Undang – Undang, Peraturan Pemerintah, Keppres,
dan Peraturan Menteri yang ramah terhadap produk impor.
“Ini tidak benar. Kalau Kita masih ramah pada impor, maka selamanya petani Kita tidak akan sejahtera. Begitu dia panen, lalu datang produk impor, jadi ngak bisa laku hasil produksi petani Kita,” tegasnya.
Meskipun harga impor lebih rendah dan murah, tapi siapa yang Kita sejahterakan sejatinya. Kalau yang lokal Kita hidupi, walaupun harganya lebIh tinggi, tapi yang menikmati itu adalah ekonomi lokal atau ekonomi Indonesia,” kata Gubernur Bali jebolan ITB ini.
Mestinya begitu cara berfikirnya dan niat baik ini juga diapresiasi oleh Presiden RI dengan menggalakkan percepatan peningkatan penggunaan produk dalam negeri.
Tapi Saya meminta rubah dulu hulu regulasinya, kalau regulasinya tidak dirubah, maka kebijakan ini hanya berjalan dengan niat baik pemimpin, suatu saat pemimpin ganti, maka kebijakan ini akan kumat lagi dengan ramah terhadap impor dan kedepan Kita akan menjadi negara yang kalah bersaing
dengan negara-negara lain,” tukasnya.
Semua harus peduli dengan masalah ini dan Advokat sebagai ahli hukum harus masuk ke ranah produk hukum Kita yang merugikan potensi perekonomian Kita untuk berkembang secara berkelanjutan.
Gubernur Koster memastikan Bali sudah aman dan kondusif dari pandemi Covid-19, sehingga
kegiatan Rakernas KAI tidak perlu daring tapi bisa langsung hadir ke Bali karena kasus Covidnya sudah mulai melandai dan stabil akibat capaian vaksinasi di Bali sangat tinggi.
Sebut saja vaksinasi pertama 106 persen, vaksinasi kedua 97 persen, vaksinasi ketiga Bbooster) sudah mencapai 70 persen atau tertinggi dan tercepat di Indonesia, sehingga kegiatan Rakernas KAI di Bali tanpa perlu daring.
Sementara Presiden Kongres Advokat Indonesia (KAI), Adv. DR. H. Tjoetjoe Sandjaja Hernanto, mengucapkan terimakasih kepada Gubernur Bali, Wayan Koster yang telah menjamu makan malam serta menghadiri Rakernas KAI.
“Saya laporkan ada 1.000 orang yang datang ke Bali sejak 3 sampai 4 hari yang lalu. Padahal acara Kongresnya hanya 1 hari saja, tapi sisanya lagi 4 hari mereka memanfaatkan waktunya di Bali untuk liburan,” imbuh Tjoetjoe Sandjaja Hernanto. ***