Yusril Ihza Ajukan Judicial Review AD/ART Partai Demokrat, Luthfi Yazid: Kesesatan Berfikir

2 Oktober 2021, 18:22 WIB

TM%2BLuthfi%2BYazid%2Bok
Vice
President Kongres Advokat Indonesia (KAI) Dr. TM. Luthfi Yazid, S.H., LL.M/Dok. Istimewa

Jakarta – Pengajuan permohonan hak uji materi, Judicial Review (JR)/toetsingrecht
atas Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Partai Demokrat (PD)
yang diajukan empat orang mantan kader PD melalui kuasa
hukum Yusril Ihza Mahendra dinilai sebagai kesesatan berfikir dan bukan merupakan terobosan hukum.

Advokat senior dan Vice
President Kongres Advokat Indonesia (KAI) Dr. TM. Luthfi Yazid, S.H., LL.M menyampaikan hal itu, menanggapi kehebohan pengajuan permohonan hak uji materi, Judicial Review diajukan empat orang mantan kader PD “kubu Moeldoko” melalui kuasa hukumnya advokat Yusril Ihza Mahendra (YIM).

“Meskipun saya pernah satu skoci menjadi partner dan pendiri Yusril Ihza Mahendra and Partners Law Firm, yang akhirnya pecah (Majalah Tempo,  8 Juni 2003, hukumonline.com, 3 Juni 2003), namun dalam banyak hal saya tidak sependapat dengan YIM,” tutur Luthfi dalam keterangan tertulisnya diterima Kabarnusa.com, Sabtu (2/10/2021).

Ketidaksependapatan itu seperti saat sengketa Pilpres RI di MK 2019, di mana YIM menjadi salah satu kuasa hukum Jokowi-Ma’ruf, dirinya menjadi salah satu kuasa hukum Prabowo-Sandi.

“Termasuk juga saya punya pandangan yang berbeda dengan YIM soal JR terhadap AD/ART Partai Demokrat,” tandas Lutfi  Yazid.

Pandangan Lutfi Yazid tidak terkait dengan konflik pribadi antara dirinya dengan YIM yang pernah terjadi, namun semata-mata karena panggilan intelektualitas. 

Dia sepenedapat, sistem kepartaian di Indonesia haruslah dibenahi, karena faktanya, memang, beberapa partai politik di tanah air cenderung oligarkis, elitis dan nepotis.

Kondisi itulah yang menghambat perkembangan demokrasi di Tanah Air serta upaya mewujudkan cita negara hukum sebagaimana amanat konstitusi. 

“Jika niat Yusril yang juga menjadi Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) adalah untuk membenahi sistem kepartaian– sebagai salah satu pilar demokrasi– maka patut diapresiasi,” tukas ” tandas alumnus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta ini. . 

Bagaimanapun, kata Lutfi, langkah YIM ini telah mengundang polemik. Ada yang pro dan kontra. Ada yang memuji langkah YIM yang dinilai cerdas yang akan membawa perbaikan kedalam sistem kepartaian dan ketatanegaraan kedepan. 

Akan tetapi, ada yang mem-bully YIM dengan mengaitkan anak YIM yang maju Pilkada di Belitung dengan dukungan PD yang menggunakan AD/ART yang diajukan JR sekarang. 

Ada juga yang mengatakan, upaya JR ini hanyalah untuk mendongkrak rating dirinya. 

Tidak ketinggalan Menkopolhukam Moh. Mahfud MD (MMD) juga menanggapi permohonan YIM dengan mengatakan bahwa permohonan YIM itu tidak ada urgensinya, tidak ada gunanya, tidak akan merubah kepemimpinan di PD. 

“Ketuanya akan tetap AHY,” kata Luthfi mengutip keterangan MMD.

Meski demikian, soal JR yang dilakukan YIM, ada beberapa catatan yang perlu dipertanyakan. 

Pertama, apa saja yang menjadi objek JR di MA? Kedua, apakah AD/ART partai politik termasuk objek JR di MA? 

Dimanakah posisi AD/ART dalam hierarki peraturan perundang-undangan? Ketiga, apakah AD/ART partai politik adalah peraturan dibawah Undang-Undang (UU) yang dapat dimohonkan JR ataukah ia hanya sebuah kesepakatan perdata antara para pihak? 

Pada titik ini, kata dia, teringat pemikiran John Austin seorang English Jurist yang terkenal dengan karyanya The Province of Jurisprudence Determined (1832).  

Austin intinya mengatakan, norma itu hanya dapat dibuat oleh sebuah otoritas resmi yaitu negara. Dengan kata lain, perintah baru dapat dikatakan sebagai hukum hanya apabila perintah tersebut berasal dari negara.  

Norma harus memuat sanksi dan harus bersifat publik. Jika tidak, maka hal tersebut tidak dapat diangggap sebagai peraturan yang mengikat kepada publik. 

Lantas, apakah yang dilakukan YIM, sebagaimana klaimnya adalah sebuah terobosan hukum?  

“Menurut saya yang dilakukan YIM bukanlah  terobosan hukum, melainkan sebuah logical fallacy (kesesatan dalam berpikir). Apakah ini juga patut diduga sebagai “intellectual manipulation”?! Wallahu’alam bishawab!,” tutur doktor alumnus Universitas Mataram ini.

Mengacu pada pendapat Meuwissen, gagasan yang ditawarkan kepada publik haruslah jelas landasan normatif, landasan teoritik dan landasan filosofisnya. Diketahui, berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Jenis dan Hierarki Peraturan Perundang-Undangan adalah, Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden Peraturan Daerah Provinsi;Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Selain Peraturan Perundang-Undangan tersebut, menurut ketentuan Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011, ada Peraturan Perundang-Undangan lainnya yang diakui keberadaanya serta mempunyai kekuatan hukum mengikat dan menjadi objek JR di MA. 

Singkatnya, objek JR di MA hanya terbatas pada peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang. 

Jika merujuk pada pendapat John Austin di atas serta mengacu pada hierarki Peraturan Perundang-Undangan yang ada di Indonesia, sudah sangat jelas menyebutkan objek yang dapat di JR. 

Karena itu, AD/ART partai politik tidak memiliki tempat untuk dijadikan objek JR. Setidaknya ada tiga aspek mengapa AD/ART bukanlah merupakan objek JR di MA yakni, eksistensi norma, relasi dan implikasinya.

Aturan yang disepakati bersama dalam AD/ART itu tidak sama dengan norma hukum yang berlaku secara umum yang dikeluarkan oleh otoritas resmi (lihat kembali pendapat John Austin). 

Dalam konteks ini YIM gagal membedakan antara norma yang berlaku secara umum dengan kesepakatan yang memiliki keberlakuan secara khusus kepada para pembentuk dan anggotanya. AD/ART bukanlah merupakan aturan yang berlaku secara umum, tapi secara terbatas.

Para pihak yang terlibat dalam pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tidak sama dengan para pihak yang membentuk AD/ART. 

Ia melanjutkan, dalam merumuskan pembentukan Peraturan Perundang-Undangan ada peran eksekutif, legislatif dan yudikatif,  sedangkan dalam pembentukan AD/ART murni diserahkan kepada para pembentuknya, sehingga hubungan antara pembentuk AD/ART diikat berdasarkan kesepakatan yang dituangkan dalam AD/ART tersebut. 

Implikasi pemberlakuan AD/ART tidak sama dengan implikasi pemberlakuan Peraturan Perundang-Undangan atau kebijakan publik, karena implikasi AD/ART hanya mengikat para pembentuk dan anggotanya saja (sifatnya internal). 

Jika mau ada perubahan atau perbaikan terhadap AD/ART, maka seharusnya dilakukan secara internal oleh para pihak yang memiliki legal standing dalam partai politik itu sendiri.

Terkait pendapat MMD, yang mengatakan, apabila MA mengabulkan permohonan YIM, maka yang akan dirubah hanyalah AD/ART PD yang akan berlaku bagi pengurus dan anggotanya yang akan datang. 

“Pada bagian ini saya tidak sependapat dengan Menkopolhukam MMD, karena jika MA sampai mengabulkan permohonan JR terhadap AD/ART PD maka ini akan membuka gerbang anarkisme hukum (legal anarchism), sebab setiap orang dapat mengajukan permohonan JR terhadap AD/ART partai politik atau organisasinya sehingga kepastian hukum dinafikan,” katanya menegaskan. 

Adalah suatu keniscayaan (taken for granted) bagi MA untuk menolak permohonan JR AD/ART PD yang tidak mempunyai dasar hukum sebagai objek uji-materi/JR. Jika pendapat MMD mau diterapkan, maka harus ada perubahan terlebih dahulu terhadap Pasal 7 dan Pasal 8 UU No. 12 Tahun 2011 dengan memasukkan AD/ART dalam hierarki Peraturan Perundang-Undangan.

YIM  dalam suatu wawancara di televisi mengatakan bahwa AD/ART merupakan quasi-regulasi. YIM juga merujuk pada UU No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. 

“Klaim YIM soal ini kembali saya tidak sependapat –karena sekali lagi saya pertegas– AD/ART ini sifatnya adalah kesepakatan internal partai politik. Sedangkan yang dapat di-JR adalah regulasi yang dibuat oleh otoritas resmi untuk kepentingan umum,” urai Luthfi. 

Jika berpegang pada nilai konsistensi (lat: consistere) dan koherensi (lat:cohairere) dalam mewujudkan kepastian hukum, sebenarnya rule of the game-nya sudah jelas ada dalam Pasal 7 dan Pasal 8 UU No. 12 Tahun 2011. 

Kalau YIM memang mau memberikan terobosan hukum, seharusnya terobosan yang memberikan solusi, bukan melahirkan permasalahan baru. Terlebih lagi, dalam waktu dekat ini, bangsa Indonesia akan menghadapi pekerjaan yang sangat besar yaitu Pemilu serentak pada tahun 2024. 

Akan ada sekitar 272 kepala daerah yang akan habis masa jabatannya sebelum tahun 2024 sehingga sebagian besar daerah akan dipimpin oleh pejabat sementara.  Ini persoalan serius bangsa yang harus disikapi.  

Akhirnya, akan seperti apakah putusan MA atas permohonan JR AD/ART PD yang diajukan YIM? MA adalah  lembaga peradilan tertinggi dan  sebagai the guardian of legal certainty, yang setiap putusannya memuat irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketahunan Yang Maha Esa”. 

Artinya, Dia bukan hanya mengemban amanat konstitusi untuk mewujudkan “kepastian hukum yang adil”, namun juga mengandung dimensi ilahiyah dimana pertanggungjawabannya juga kepada Tuhan Yang Maha Esa. 

“Putusan MA dalam soal ini sangat menentukan arah dan jalannya demokrasi konstitusional di negeri ini,” tutup Luthfi Yazid, alumnus School of Law, University of Warwick, United Kingdom. (rhm)

Artikel Lainnya

Terkini