Ekonom: Pengelolaan ULN dan Pertumbuhan Ekonomi Lebih Efektif di Era SBY

18 Oktober 2020, 12:29 WIB
Ilustrasi utang./ ©Shutterstock

Jakarta – Prestasi luar biasa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
tak bisa dipungkiri berhasil menurunkan rasio utang terhadap PDB Indonesia
yang sebelumnya di era kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputeri sebesar
56,5 persen pada Tahun 2004 menjadi hanya 24,7 persen pada Tahun 2014 atau
turun signifikan sebesar 31,8 persen.

“Rasio utang yang lebih kecil ini ditunjang pertumbuhan ULN relatif kecil,
tapi tetap menghasilkan pertumbuhan ekonomi sebesar 6 persen, berkebalikan
dengan yang terjadi pada masa Presiden Joko Widodo walaupun Menteri Keuangan
ditempati orang yang sama,” ujar Ekonom Konstitusi Defiyan Cori dalam
keterangannya Minggu (18/10/2020).

Publik kembali dikejutkan laporan Bank Dunia yang bertajuk International Debt
Statistics (IDS) 2021 (Statistik Utang Internasional) pada 12 Oktober 2020
lalu yang memuat tentang peringkat negara-negara dengan Utang Luar Negeri
(ULN) terbesar.

Ternyata Indonesia masuk menjadi salah satu diantaranya dengan jumlah Utang
Luar Negeri (ULN) sampai Tahun 2018 sejumlah US$402,08 Miliar atau setara
Rp5.910,57 Triliun (kurs 1 dollar = Rp14.700).

Meskipun publikasi data itu mendapat bantahan dari pihak Kementerian Keuangan
dengan menyatakan, bahwa laporan dari Bank Dunia tidak tepat.

Sebab, lembaga ekonomi dan keuangan internasional itu menggunakan basis data
ULN Indonesia sebagai pembanding jumlah utang luar negeri negara lain di
kategori penghasilan rendah dan menengah.

“Pertanyaan selanjutnya yang relevan atas publikasi data peringkat negara
pengutang terbesar itu adalah, untuk apa dan kemana alokasi ULN itu
dimanfaatkan serta efektikah pengelolaannya?,” seru Defiyan.

Bukanlah bantahan yang harus dilakukan sebagai sikap reaktif atas publikasi
Bank Dunia itu, sementara Menteri Keuangan RI Sri Mulyani atas prestasi ULN
itu telah memperoleh penghargaan sebagai Menteri Keuangan terbaik didunia
karena membawa Indonesia dalam posisi sebagai negara berpenghasilan menengah?

Daftar peringkat negara yang terbesar ULN nya berdasar Laporan Bank Dunia itu
merupakan jumlah total dari suatu negara atau tidak memisahkan antara utang
pemerintah dan swasta.

Jika dibandingkan dengan 10 negara yang disebutkan dalam laporan Bank Dunia
itu, maka sebagian besar utang pemerintahnya di atas 50 persen, walaupun
posisi Indonesia tidak jauh berbeda yaitu 49 persen, berada pada peringkat
ke-7 bersama satu negara anggota ASEAN lainnya yang berada diperingkat 10.

Inilah kenyataan empirik tingginya ULN Indonesia sebagai konsekuensi masuk
dalam jajaran negara G20 alias negara dengan skala ekonomi terbesar di dunia,
yaitu berada di peringkat ke-16 dan dengan utang besar diantara negara-negara
tersebut.

Seharusnya pasca krisis ekonomi dan moneter Tahun 1998 menjadi momentum bagi
Indonesia untuk melakukan perubahan paradigmatik pengelolaan ekonomi nasional
yang lebih condong kepada kapitalisme dengan menegakkan Sistem Ekonomi
Konstitusi yang telah dimandatkan oleh Pasal 33 UUD 1945.

Terutama sekali adalah untuk meneguhkan susunan perekonomian Usaha Bersama
berdasar azas kekeluargaan.

Salah satu diantara kebijakan ekonomi yang harus diupayakan sekuat tenaga
adalah melepaskan ketergantungan yang tinggi atas pembiayaan pembangunan
dengan bersumber pada Utang Luar Negeri yang berpengaruh pada kinerja ekonomi
makro.

Mirisnya, fakta yang terjadi atas pengelolaan ekonomi Indonesia malah
sebaliknya, yaitu menumpukan pembangunan di segala bidang pada Utang Luar
Negeri yang semakin besar.

Data Kementerian Keuangan menyampaikan soal posisi utang pemerintah di akhir
Tahun 2018 yang mencapai sejulah Rp 4.418 Triliun dan membenarkan, bahwa
selama 4 tahun pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), jumlah utang pemerintah naik
sejumlah Rp 1.809 Triliun.

Pertambahan utang pemerintah Jokowi yang berjalan selama 4 tahun ini, lebih
besar ketimbang penambahan jumlah utang di era pemerintahan Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) selama 10 tahun (2004-2014) yang mencapai Rp 1.309 Triliun.

Meskipun Sri Mulyani menegaskan, utang ini ditarik untuk hal-hal yang
produktif, tapi fakta yang terjadi pada kinerja ekonomi makro Indonesia tak
produktif.

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini membandingkan penambahan utang pada
periode 2012 – 2014 dengan periode 2015 – 2017. Pada 2012 – 2014, penambahan
utang mencapai Rp 798 Triliun, sementara pada periode 2015 – 2017 tambahan
utang mencapai Rp 1.329,9 Triliun. Pada periode 2012 – 2014.

Sementara pada periode 2015 – 2017, tambahan utang di era Jokowi-JK
dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur sebesar 904,6 Triliun, sektor
pendidikan Rp 167,1 Triliun, sektor kesehatan Rp 249,8 Triliun, sektor
perlindungan sosial Rp 299,6 Triliun, dan DAK Fisik dan dana desa Rp 315,9
Triliun.

“Jadi ini 8 kali lipatnya, tetapi kalau dilihat pengaruhnya pada angka
kemiskinan yang diklaim turun, rasio gini nya tidaklah terlalu jauh bergeser,”
sebut Defiyan.

Angka rasio gini selalu naik turun pada interval angka 0,39-0,41 bukanlah
sesuatu capaian yang baik, apalagi maksimal dikemudikan (debt driven) oleh
utang dan lebih banyak dipengaruhi oleh variabel ekonomi lain.

“Permasalahan sebenarnya adalah terletak pada kesalahan dalam menetapkan skala
prioritas pembangunan, tidak terarah dan terukur dengan baik,” tuturnya.

Pemerintah justru tidak belajar dari kesalahan ini dan terus menerus melakukan
pembangunan infrastruktur, yangmana dalam masa lima tahun terakhir, anggaran
infrastruktur terus naik dengan total alokasi anggaran yang telah dibelanjakan
(2014-2019) berjumlah Rp1.893 Triliun.

Alokasi yang berlebih-lebihan (jor-joran) pada program pembangunan fisik ini
selain tidak mempercepat (akselerasi) pertumbuhan ekonomi secara sektoral,
regional, dan struktural namun juga mubazir.

Sementara, prioritas yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo dengan lebih
mengutamakan pembangunan Sumberdaya Manusia (SDM) pada periode kedua
pemerintahannya belum tampak arahnya sama sekali, sementara utang luar negeri
tidak memberikan manfaat dan dampak produktif.

Selain itu, jika dibandingkan dengan kinerja ekonomi makro di era kepemimpinan
Presiden SBY selama sepuluh tahun, pertumbuhan ekonomi dapat dicapai rata-rata
di kisaran 5-6 persen.

Misalnya, laju pertumbuhan ekonomi pada Tahun 2008 yang dicapai sebesar 6,1
persen didukung oleh sumber utama pertumbuhan komponen ekspor 4,6 persen,
diikuti konsumsi rumahtangga 3,1 persen, pembentukan modal tetap bruto 2,6
persen, dan konsumsi pemerintah 0,8 persen.

Dengan jumlah ULN ditahun tersebut yang sebesar Rp1.636,7 Triliun atau setara
US$149,5 Miliar dibandingkan jumlah ULN di era Presiden Joko Widodo Tahun 2018
yang sejumlah Rp4.418 Triliun atau setara US$304, 69 Miliar dan jumlah ULN nya
lebih besar sejumlah Rp2.781,3 Triliun namun hanya menghasilkan pertumbuhan
ekonomi sebesar 5,17 persen, artinya, pengelolaan alokasi ULN pada era
Presiden SBY lebih efektif.

Pencapaian pertumbuhan ekonomi tertinggi terjadi pada Tahun 2011, yaitu
sebesar 6,5 persen dan yang terendah dicapai pada Tahun 2009 dengan angka
pertumbuhan ekonomi sebesar 4,5 persen, dan utang luar negeri yang lebih
kecil.

Jika dilihat sejarah utang dari era orde baru sampai saat ini, meskipun
berdasar nilainya utang naik, akan tetapi rasio utang pemerintah Indonesia
terhadap PDB msmang masih jauh dari batas maksimal yang ditetapkan dalam
Undang-undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara sebesar 60
persen terhadap PDB.

Walaupun begitu, untuk sasaran kemandirian ekonomi tidak mesti ruang aturan
yang membebani dalam jangka panjang terkait rasio utang ini dipenuhi, malah
seharusnya rasio semakin turun.

Pada era kepemimpinan Presiden SBY justru utang tidak dijadikan sumber utama
dalam menunjang pembangunan infrastruktur secara berlebih-lebihan, namun
perekonomian berjalan relatif stabil bahkan ditengah krisis subprime mortgage
yang menghancurkan likuiditas perbankan di berbagai belahan dunia, termasuk
Indonesia.

Krisis ini terjadi dari kredit perumahan (mortgage) yang diberikan kepada
debitor dengan sejarah kredit yang buruk atau belum memiliki sejarah kredit
sama sekali, sehingga digolongkan sebagai kredit yang berisiko tinggi.

Penyaluran subprime mortgage di AS mengalami peningkatan pesat yakni sebesar
US$ 200 Miliar pada 2002 menjadi US$ 500 Miliar pada 2005. Presiden SBY
memimpin Indonesia selama dua periode, yaituperiode I, Tahun 2004-2009, dan
periode II Tahun 2009-2014.

Pada masa pemerintahan SBY, rasio utang dan nilai utang Indonesia secara
periodik adalah: Tahun 2005: Rp 1.311,7 Triliun atau US$ 133,4 Miliar, dengan
rasio utang terhadap PDB sebesar 47,3 persen; Tahun 2006: Rp 1.302,2 Triliun
atau US$ 144,4 Miliar dengan rasio utang terhadap PDB 39 persen;Tahun 2007: Rp
1.389,4 Triliun atau Rp 147,5 Miliar, dan rasio utang terhadap PDB sebesar
35,2 persen.

Tahun 2008: Rp 1.636,7 Triliun atau Rp 149,5 Miliar, rasio utang terhadap PDB
33 persen.

Dimasa periode kedua pemerintahannya, Tahun 2009: jumlah utang luar negeri Rp
1.590,7 Triliun atau US$ 169,2 Miliar, dengan rasio utang terhadap PDB 28,3
persen. Tahun 2010: Rp 1.681,7 Triliun atau US$ 187 Miliar, dengan rasio utang
24,5 persen terhadap PDB.

Tahun 2011: Rp 1.809 Triliun atau US$ 199,5 Miliar, rasio utang 23,1 persen,
Tahun 2012: Rp 1.977,7 Triliun atau US$ 204,5 Miliar, rasio utang 23 persen,
Tahun 2013: Rp 2.375,5 Triliun atau US$ 194,9 Miliar, rasio utang 24,9 persen,
dan Tahun2014: jumlah utang Rp 2.608,8 Triliun atau US$ 209,7 Miliar, dan
rasio utang 24,7 persen terhadap PDB.

Rasio utang yang lebih kecil ini ditunjang pula oleh pertumbuhan ULN relatif
kecil, tapi tetap menghasilkan pertumbuhan ekonomi sebesar 6 persen,
berkebalikan dengan yang terjadi pada masa Presiden Joko Widodo walaupun
Menteri Keuangan ditempati orang yang sama.

Sayangnya selama Sri Mulyani menjadi Menteri Keuangan pada 2 (dua) figur
kepemimpinan Presiden RI, yaitu Ptesiden SBY dan Jokowi selama kurang lebih 10
tahun tidak memberikan manfaat dan dampak yang berarti bagi perbaikan
mayoritas penduduk Indonesia.

“Alih-alih peningkatan jumlah utang luar negeri yang drastis dan tajam telah
menempatkan Indonesia pada posisi ke-7 negara-negara skala ekonomi menengah
dan bawah dengan ULN terbesar,” Defiyan menuturkan.

Lalu semakin absurd, kenapa Menkeu melalui stafnya melakukan komplain atas
pemeringkatan ULN tersebut, bukankah dengan status negara berpenghasilan
menengah ini yang telah membuat Sri Mulyani menjadi Menkeu terbaik dunia?.
(rhm)

Berita Lainnya

Terkini