Penggunaan Jaringan PLN Oleh Pembangkit ‘Power Wheeling’ Swasta Merugikan Konsumen dan Negara

Perintah konstitusi ekonomi, Pasal 33 UUD 1945 harus menjadi acuan kebijakan pembangunan infrastruktur energi baru terbarukan yang akan diatur melalui Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT).

23 Januari 2023, 08:28 WIB

Kebijakan pembangunan infrastruktur energi baru terbarukan yang akan diatur melalui Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT) haruslah mengacu pada perintah konstitusi ekonomi, Pasal 33 UUD 1945. Yang mana ayat 2-nya menyatakan, bahwa cabang-cabang produksi yang penting dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.

Perintah penguasaan negara dalam cabang produksi penting ini dimandatkan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk digunakan sebesar-besarnya dalam mencapai kemakmuran rakyat, bukan orang per orang atau sebagian orang saja.

Keseriusan pemerintah Indonesia untuk mendukung prinsip Environmental, Social, Governance (ESG) menuju komitmen energi hijau (green energy) dalam meningkatkan daya saing produk nasional di pasar internasional tidak perlu diragukan.

Namun, upaya ini jangan sampai kemudian mengorbankan keberadaan (eksistensi) dan keberlanjutan BUMN di masa depan dan membebani keuangan negara disebabkan menetapkan kebijakan yang salah.

Implementasi Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) dalam mencapai persentase bauran energi baru terbarukan mesti diterapkan sejalan dengan tingkat kelistrikan (electrification ratio) yang telah dicapai oleh PLN.

Mengacu pada publikasi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), bahwa BUMN Perusahaan Listrik Negara (PLN) telah memeratakan akses listrik sampai ke pelosok negeri dengan tingkat elektrifikasi sebesar 99,52% pada triwulan I tahun 2022.

Artinya, peningkatan investasi PLN disektor kelistrikan telah mampu menyediakan listrik dengan harga terjangkau bagi konsumen masyarakat Indonesia. Dengan demikian, PLN memiliki kemampuan teknis dan manajemen sebagai garda terdepan bagi program energi baru terbarukan tersebut.

Lalu, apa urgensi penggunaan jaringan PLN oleh pembangkit (power wheeling) swasta untuk menghasilkan listrik yang akan dijual kepada konsumen masyarakat? Tanpa mengeluarkan dana investasi untuk pembangunan infrastruktur jaringan, maka penggunaan jaringan PLN oleh pembangkit daya (power wheeling) swasta sama saja dengan benalu yang akan menggerus kinerja BUMN.

Dan, hal ini sama saja dengan memperpanjang distribusi aliran listrik kepada konsumen yang otomatis akan menambah biaya-biaya operasional dalam jangka pendek serta berpengaruh pada tarif dasar listrik PLN.

Dalam jangka panjang, pengeluaran biaya-biaya operasional PLN akan meningkat jika skema penggunaan jaringan PLN oleh pembangkit swasta (power wheeling) tidak memberikan harga yang terjangkau oleh konsumen masyarakat.

Maka, keuangan negara melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menjadi terkuras untuk menutup alokasi subsidi dan kompensasi apabila kebijakan menaikkan Tarif Dasar Listrik (TDL) tidak menjadi pilihan.

Oleh karena itulah, usulan penggunaan jaringan listrik oleh pembangkit (power wheeling) dimiliki swasta harus ditolak materinya dalam pembahasan RUU EBT oleh Panitia Kerja (Panja) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Publik bisa-bisa memelesetkan istilah power wheeling ini menjadi “power mhaling” jika Panja DPR mengesahkan klausul tersebut menjadi UU EBT yang tidak ada relevansinya dengan EBT.

Apakah anggota DPR dimasa tahun politik 2024 ini akan rela dianggap sebagai penyebab kesusahan rakyat dan meruntuhkan kehadiran BUMN yang menopang keuangan dan perekonomian negara.

Sementara itu, pemerintah telah mengeluarkan materi soal penggunaan jaringan PLN oleh pembangkit swasta (power wheeling) itu dari Daftar Inventaris Masalah (DIM) RUU EBT, selayaknyalah DPR mengikutinya. Dalam perspektif pembahasan RUU EBT ini juga, sebaiknya DPR harus memandang spektrum lebih luas lagi terkait mendesaknya Indonesia memiliki RUU Energi bukan hanya RUU EBT.

Bagaimanapun juga, EBT harus ditempatkan secara proporsional dan hanya sebagai salah satu materi atau klausul saja dalam RUU Energi, sehingga sinergi antar BUMN yang beririsan pada sektor ini seperti Pertamina, PLN, BUMN Holding Pertambangan MIND.ID (sub holding Aneka Tambang) dapat berjalan efektif dan efKonstiangan sampai, misalnya BUMN Pertamina malah berkeinginan membangun ekosistem industri pengolahan nikel menjadi baterai sedangkan bisnis intinya (core business) adalah minyak dan gas bumi (Migas), BUMN Antam lah yang lebih tepat melakukan pengembangan ekosistem nikel untuk diolah menjadi baterai dibawah koordinasi MIND.ID. ***

Artikel Lainnya

Terkini