Denpasar – Ketua Fraksi Gerindra DPRD Bali, I Gede Harja Astawa meminta Gubernur Wayan Koster mengeluarkan imbauan yang tidak tebang pilih dalam penanganan sampah di Pulau Dewata.
Hal tersebut disampaikan terkait keberadaan Surat Edaran (SE) Nomor 9 tahun 2025 tentang Gerakan Bali Bersih yang salah satu klausulnya melarang produksi dan distribusi air kemasan di bawah 1 liter.
Gede Harja menilai penggunaan kemasan plastik tidak hanya dipakai oleh air kemasan saja tetapi dalam banyak produk pangan dan non-pangan lainnya.
Dia menyebut pelarangan harus bersifat holistik dan tidak menyasar pada satu kemasan plastik saja.
“Kemasan itu tidak air saja ya, tadi kita singgung juga masalah es krim, kemudian juga ada produk shampo, ada produk minuman lain, macam-macam. Kebayang nggak kalau itu ketat dilakukan? Kalau tidak ketat berarti kan tebang pilih ini nggak bagus juga,” kata Gede Harja Astawa dalam podcast Gema Bali yang tayang perdana di Youtube pada Rabu 16 April 2025.
Kata dia mengatasi sampah di Bali tidak perlu dengan melakukan pelarangan produksi dan distribusi yang justru merugikan perekonomian masyarakat secara langsung.
Dia menambahkan sampah plastik yang ada di Bali tidak hanya disebabkan oleh tumpukan limbah air kemasan semata.
Gede Harja mengatakan keberadaan air kemasan di bawah 1 liter sebenarnya memudahkan publik terlebih saat mengadakan kegiatan adat atau yang melibatkan masyarakat banyak.
Dia menegaskan menghilangkan air kemasan di bawah 1 liter hanya akan menambah beban masyarakat apalagi ketika melaksanakan acara adat.
“Sampah plastik kan tidak semata-mata dari air kemasan, ini bisa memunculkan kecemburuan. Saya tidak ada titipan dari produsen atau pengusaha, saya nggak kenal itu tetapi ini murni,” kata Ketua DPD Pemuda Hindu Kabupaten Buleleng ini.
Kendati demikian, Gede Harja menegaskan dukungan terhadap SE tersebut karena memiliki maksud baik dalam mengurangi sampah di Bali namun tidak terkait pelarangan produksi dan distribusi air kemasan di bawah 1 liter. Menurutnya, pelarangan tersebut tidak menjadi solusi bahkan justru bisa menjadi bumerang bagi Bali.
Pada kesempatan lain, Gede Harja berpendapat pengelolaan sampah berbasis daur ulang seharusnya lebih dikedepankan dibanding pelarangan produksi dan distribusi air kemasan. Dia menambahkan masyarakat luas juga bisa mendapat keuntungan ganda secara ekonomi dan ekologi.
Dia menyebut penghentian produksi dan distribusi tersebut akan mematikan hajat hidup orang banyak sehingga dapat menimbulkan masalah sosial baru.
Gede Harja pun meminta Gubernur Koster untuk mengevaluasi keberadaan SE nomor 9 tahun 2025 tersebut.
“Sebaiknya direvisi dan disempurnakan. Klausul pelarangan dan distribusi itu dihapus dan diberikan dengan tambahan solusi-solusi pengelolaan sampah,” katanya.
Badan Riset Urusan Sungai Nusantara (BRUIN) juga mempertanyakan SE nomor 9 tahun 2025 yang sama sekali tidak melarang produksi dan distribusi kemasan sachet.
Mereka mengaku heran pelarangan malah menyasar kemasan air yang sudah jelas memiliki ekonomi dan mudah didaur ulang.
Koordinator Program Sensus Sampah Plastik BRUIN Muhammad Kholid Basyaiban mengatakan barang buangan sachet merupakan kategori limbah beresidu yang sangat sulit didaur ulang.
Data brand audit BRUIN pada April 2024 lalu menemukan bahwa sampah dari kemasan sachet di Bali itu sangat dominan, di samping limbah unbranded seperti kresek dan styrofoam.
“Kalau ngomongin sachet waktu kami melakukan brand audit sampah di Bali itu juga dominan. Sampah-sampah ini nggak bisa didaur ulang juga. Mereka ini sampah-sampah residu,” tegas Kholid.
Meskipun mendukung SE pemerintah Bali untuk mengurangi limbah plastik sekali pakai, namun dia menyayangkan langkah penanganan sampah diskriminatif yang diambil Gubernur Wayan Koster. Dia kecewa kepala daerah kader PDIP itu tidak mengikutsertakan pelarangan distribusi produk sachet di Bali.
Justru sampah sachet yang tidak memiliki nilai ekonomi dan tidak bisa didaur ulang sama sekali tidak ada larangan bagi produsen untuk menjual dan mendistribusikan produknya di Bali,” katanya.***