Sigit Pamungkas: Pandangan KUHP untuk Mematikan Demokrasi Terlalu Berlebihan

Pandangan yang menyatakan KUHP bakal mematikan demokrasi kata Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, Sigit Pamungkas sebagai hal berlebihan.

17 Desember 2022, 12:48 WIB

Menurut Sigit Pnmungkas, kebebasan berpendapat saat ini, berada dalam situasi yang berbeda dari masa sebelumnya. Untuk itu, proses pembaharuan dan pengesahan RKUHP pun sudah sesuai aspirasi publik dan mekanisme demokratis yang ada.

Jika dahulu, kebebasan berpendapat masih dibatasi dengan kontrol terhadap partai, masyarakat sipil dan media maka saat ini, pilar-pilar demokrasi tersebut dibebaskan untuk beraspirasi. Parlemen juga terbuka bagi publik.

KSP: Dukungan Keluarga terhadap Perempuan Jadi Akseptor KB Masih Minim

“Melalui mekanisme pemilu yang rutin supremasi sipil juga terjamin. Jadi terlalu berlebihan pandangan bahwa KUHP mematikan demokrasi,” Sigit Pamungkas menegaskan.

Lebih lanjut, KUHP baru yang menjadi legacy Presiden Joko Widodo ini, akan berlaku secara efektif di 3 (tiga) tahun mendatang. Edukasi kepada publik aparat penegak hukum tentang pasal-pasal yang telah ditetapkan dalam KUHP yang baru, selam masa transisi ini, terus dilakukan pemerintah.

Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), Andi Widjajanto mengingatkan, dalam perspektif geopolitik, pengesahan KUHP adalah bentuk penguatan otonomi strategis Indonesia.

KSP Pastikan Indonesia dan Malaysia Terus Berkomunikasi Terkait Persoalan PMI di Malaysia

Keinginan Indonesia untuk mengadopsi paradigma hukum pidana modern yang meliputi keadilan korektif, keadilan restoratif, serta keadilan rehabilitatif harus menjadi prioritas baru dalam membangun kolaborasi dengan negara lain.

Andi Widjajanto mengungkapkan, kepentingan nasional tersebut, bertujuan untuk menjaga iklim demokrasi dan dapat diterjemahkan menjadi sikap Indonesia dalam kerangka hubungan luar negeri.

Dengan pengesahan KUHP, lanjut Andi Widjajanto, kebutuhan Indonesia untuk menjaga sendi-sendi demokrasi di tengah merebaknya tren global tentang politik identitas, ujaran kebencian, serta politik hoaks harus menjadi rujukan utama dalam praktek diplomasi Indonesia. ***

Artikel Lainnya

Terkini