Stop Hakimi Fenomena Crosshijaber, Bangun Kepercayaan dalam Keluarga

27 November 2019, 05:45 WIB

Siapa yang tidak mendengar tentang fenomena crosshijaber yang baru-baru ini menjadi trending topik.

Pembicaraan netizen berkembang menjadi negatif tidak hanya karena hal ini dianggap tidak normal, tidak sesuai norma tetapi juga dikarenakan meningginya kasus kriminalitas, tindakan pelecehan atau asusila seperti video berlokasikan toilet wanita, bahkan tindakan pencurian di rumah ibadah.

Untuk membahas hal ini lebih dalam dan netral, kita harus mampu mengenyampingkan kemungkinan-kemungkinan lain yang hampir mirip dengan fenomena ini ataupun dampak yang jelas semakin melebar di ranah sosial.

Khususnya pada analisis ini, kita akan mencoba tidak berurusan langsung tentang LGBT dan lainnya. Hal ini untuk menghindari adanya anggapan dan persamaan terkait hal tersebut. Mengingat banyaknya pendapat, opini, asumsi yang bergerak liar terkait hal ini.

Untuk itu, kita harus memulainya dengan mengetahui lebih dalam lagi tentang istilah crossdressing. Seperti istilah Crosshijaber diasumsikan sebagai bagian dari crossdressing oleh Magdalene.co.

Dan menurut Ine Indriani MPsi, Psi, seorang psikolog yang diwawancara oleh republika.co.id pada bulan Oktober 2019, semua ini belum tentu masuk kategori penyimpangan seksual.

Karena istilah ini sudah ada sejak beradab lalu dengan bentuk ataupun gayanya.

Bahkan Tirto.id di tahun 2017 sudah membahas hal ini dan memberikan analisisnya yaitu crossdressing tidak selalu berkaitan dengan orientasi seksual. Namun tidak sedikit juga media massa yang memberikan opininya yang sebaliknya.

Crossdressing

Bisa diterjemahkan sebagai berlintas busana merupakan penggunaan pakaian yang berbeda dengan gendernya, seperti gender wanita menggunakan pakaian laki-laki, ataupun sebaliknya.

Hal pun terjadi di negara lain seperti Inggris, Jepang, Turki, Amerika, dll. Contohnya di abad 18, ada tempat yang menjadi lokasi berberpesta bagi para pria dengan bebasnya berdandan seperti perempuan, yaitu The Molly House.

Mengutip fashion history yang ditulis oleh Edward Ward dalam “The Secret House of History of Clubs tahun 1709, “Mereka mengadopsi semua yang ada pada wanita.

Mulai dari cari berjalan, mengobrol, menjerit, dan marah-marah. Begitu mereka tiba, mereka mulai berperilaku persis seperti wanita, membawa gossip ringan dan lainnya.

Sedangkan di kebudayaan Jepang, ada peran onnagata, dalam sandiwara kabuki, adalah peran wanita yang dimainkan oleh pemeren pria yang muncul setelah pelarangan wanita untuk bermain di sandiwara tersebut.

Atau di India, tepatnya di negara bagian Kerala, terdapat perayaaan ‘kottakulangara” yang melibatkan pria berpakaian wanita.

Tidak hanya itu, contohnya di negara kita sendiri, di Banyumas, jawa Tengah, sebuah seni tari yang terkenal dengan nama “lengger lanang” merupakan seni tari yang dipentaskan oleh pria yang berpenampilan perempuan.

Hal ini bisa menjadi dasar pemikiran awal bahwa crossdressing bukanlah hal yang tabu dan berbahaya dan pastinya akan mengakibatkan kejadian kriminalitas.

Serupa dengan pendapat Ine diatas, Zoya Amirin seorang psikolog seksual mengatakan dalam artikel Media Indonesia di bulan Oktober 2019 bahwa para pelaku crossdressing memiliki banyak motif di dalam perilaku mereka yang gemar berbusana layaknya lawan jenis.

Mereka belum tentu tranvestisme karena motif atau tujuan akhirnya tidak ada yang tahu kecuali mereka sendiri. Tidak sedikit mereka mempunyai pasangan yang merupakan lawan jenisnya dan menerima dan mendukung mereka.

Pasangan mereka tidak sedikit yang sudah mengetahui kebiasaan mereka tersebut, dan bersedia menemani sang kekasih jalan-jalan ke mal dengan kondisi menggunakan pakaian perempuan.

Biasanya sang lelaki lebih memilih menggunakan pakaian muslim wanita karena lebih tertutup dan sulit dikenali.

Ada salah satu narasumber yang memaparkan bahwa ketika mereka melakukan hal tersebut, mereka hanya akan berkomunikasi dengan gadget, agar tidak dicurigai oleh orang sekitarnya.

Tidak hanya itu, ada beberapa pasangan yang berdua pergi bersama ke resepsi pernikahan dengan memakai busana daerah seperti kebaya ataupun abaya. Dalam konteks ini mereka adalah pasangan yang lebih berani terbuka kepada masyarakat sekitar.

Crosshijaber

Tanpa kita ketahui fenomena ini sudah ada disekitar kita sejak tahun 2004-2006. Mereka menggunakan media sosial dalam berinteraksi, seperti Facebook dengan anggota ribuan ataupun pembuatan group whatsapp.

Di dalam grup tersebut anggotanya sudah bisa dikatakan mapan dan memiliki profesi yg berbeda-beda, seperti guru, Eksekutif muda diberbagai perusahaan, bahkan tidak sedikit yang memiliki pekerjaan berat dan dilapangan seperti engineering, dll.

Ketika dikonfirmasi alasannya kepada pelaku crossdressing/crosshijaber yang bersedia terbuka atau diwawancara, jawaban mereka sangat simple, yaitu mereka hanya menunjukkan atau mengekpresikan diri.

Ada yang menjawab bahwa ketika melihat orang lain yang mereka lihat dan anggap cantik, keren dengan outfit perempuan itu, lalu mereka mempunyai keinginan untuk mengikuti style tersebut.

Terdapat pengakuan dari salah satu crosshijaber yang bisa berkenan diwawancara, sebutlah Dini (seorang laki-laki lulusan Fakultas Ekonomi) yang diwawancara oleh Wolipop, sebenarnya apa yang dia lakukan bukan untuk tujuan yang aneh-aneh, tapi sebuah kepuasan tersendiri.

Karena menurutnya, ketika ‘Dini’ berhasil keluar dengan keadaan berbeda gender dan tidak diketahui oleh sekitarnya, itulah kebanggaannya, itulah keberhasilannya. Karena tujuannya ‘Dini’ adalah hanya ingin bisa keluar dalam keadaaan crossdressing dan tidak dikenal orang lain ataupun membuat masalah.

Kenapa ‘Dini’ memilih menjadi salah satu crosshijaber? Karena dengan menggunakan baju muslim, kerudung ataupun cadar, ‘Dini’ tidak memerlukan kegiatan yang lain seperti dandan dan memadumadankan hal-hal lain seperti yang harus dilakukan jika hanya menggunakan crossdressing.

Dalam beberapa bulan ini banyak yang mulai berani mempertunjukkan hobinya itu dan membuat akun-akun media sosial.

Tercatat sebelum adanya penyimpangan atau penyalahgunaaan hal ini terdapat 1.109 akun crosshijaber di Instagram, 1300 akun di Facebook, dan puluhan ribu di aplikasi Aplikasi Telegram.

Namun setelah menjadi viral dengan nada negatif dan banyaknya kejadian kriminalitas yang menggunakan fenomena ini, banyak foto yang dihilangkan, akun media sosial yang di non-aktifkan, ataupun menguap hilang tanpa jejak.

Usaha ini patut dihargai dari dua pihak, jika kita posisikan diri kita sebagai bagian dari crosshijaber, kita akan merasa tertuduh, terancam, dan teraniaya karena ada pihak lain yang menggunakan nama atau komunitas kita untuk melakukan kriminal.

Dan kedua, jika kita memposisikan diri sebagai orang luar dari crosshijaber, ada kemungkinan kita dan pihak berwajib bisa mengerucutkan tersangka kriminal tersebut.

Dan mungkin suatu saat, bisa jadi saat adanya kerjasama antara komunitas tersebut dengan pihak berwajib untuk memerangi kejahatan yang marak terjadi saat ini dengan atas nama kelompok tersebut.

Walaupun kita belum tahu jelas penyebab, alasan ataupun motif dari fenomena ini, tapi sudah selayaknya kita tetap saling menghargai, dan tidak langsung menghakimi mereka.

Malah seharusnya kita berkolaborasi dan memberikan ide ataupn pemikiran kita agar hal ini mereduksi ataupun tidak terjadi lagi. Faktor terpenting adalah lingkungan terdekat yakni keluarga mereka.

Keluarga adalah individu-individu yang paling sering berinteraksi sehingga bisa memberikan perhatian lebih, mencoba mecari tahu dan memahami motif mereka melakukan hal tersebut ketimbang orang lain.

Fenomena ini pastinya bukan terjadi dengan sekejab, melainkan sudah lama terpendam. Salah satu solusi yang bisa dilakukan adalah pendidikan seksual contohnya harus dilakukan sedini mungkin, agar mereduksi keinginantahuan yang aneh atau diluar norma muncul.

Kita harus mengakui sebagai orang tradisi timur, melakukan hal tersebut masih tergolong tabu. Membuat orang yang lebih tua menjelaskan sesuatu hal yang berhubungan dengan seks tersebut akan lebih memilih menggunakan bahasa atau kata atau penyebutan lain.

Padahal tanpa disadari, hal itu bisa menimbulkan keingintahuan mereka lebih besar. Keluarga adalah primary reference group yaitu kelompok individu yang paling dekat, sering interaksi dan lebih mudah mempengaruhi mereka.

Hubungan ini seharusnya bisa membuat mereka lebih mempercayai anggota keluarganyq, terbiasa berkomunikasi dua arah dan lebih mudah mengikuti saran dari keluarganya.

Jika kepercayaan sudah terbina, sang keluarga bisa masuk ke fase selanjutnya khususnya kepada anggota keluarga yang terlihat ciri-cirinya menyukai atau ingin mencoba crossdressing ini seperti memberikan edukasi lebih dalam tentang perilaku, cara berbusana, perilaku yang seseuai dengan jenis kelaminnya ataupun sesuai dengan norma sosial.

Banyak hal yang bisa kita lakukan untuk mengurangi fenomena ini walau dengan peran sebagai teman, sahabat terlebih keluarga. Sekecil apapun itu sangat berarti dan dapat memberikan dampak yang signifikan.

Apapun motif atau alasan fenomena ini tejadi, jika kita bersatu untuk tidak membiarkannya menyebar, pastilah akan memberikan hasil yang positif.

Dalam kondisi sekarang, bisa jadi karena kita hanya masing saling tidak mengerti satu sama lain, dan terbiasa mengutamakan pemikiran negatif atas apa yang berbeda. Tapi pada dasarnya kita sama, mempunyai kebaikan dan selalu ingin berbuat kebaikan.

Jadi, lakukanlah sekecil apapun, kapanpun dan dimanapun. Perbedaan itu tidak selalu menjadi alasan untuk perpecahan, perbedaan itu adalah awal untuk saling mengerti, bahkan saling melengkapi.

Mungkin ini adalah jalan yang harus kita lalui bersama untuk bersikap, berlaku toleransi. (*)

*Rizka Septiana, M.Si, IAPR, Dosen Tetap & Humas LSPR-Jakarta / Full time Lecturer & Deputy Head of Media Relations Division LSPR-Jakarta

Director of Membership Division ASEAN Public Relations Network (APRN)

Berita Lainnya

Terkini