Jakarta – Transisi Energi yang Berkeadilan atau Just Energy Transition sangat penting diterapkan dalam upaya menurunkan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) mencapai target 31,89% yang tertera di dokumen Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC).
Direktur Eksekutif Yayasan PIKUL Indonesia Torry Kuswardono mengatakan, transisi energi saat ini adalah salah logika. Sebab transisi energi tetap menggunakan logika pertumbuhan ekonomi yang (tetap) mengandalkan eksploitasi. (3/4/2023).
Menurutnya, langkah mitigasi krisis iklim dalam transisi energi, prosesnya harus berkeadilan dan menjamin terjadinya integrasi ekosistem, lingkungan dan integritas sosial. Torry menilai transisi energi tidak hanya berpatokan pada target penurunan emisi semata.
Komunitas Honda CB150X Bali Chapter Berbagi Takjil Buka Puasa bagi Pengguna Jalan di Denpasar
“Mitigasi energi yang tidak mempertimbangkan kemampuan adaptasi lingkungan kedepannya akan memunculkan masalah baru, misalnya dengan adanya kebijakan kendaraan listrik, perlu dilakukan asesmen, bagaimana dampak pertambangan nikel bagi masyarakat sekitarnya, jangan sampai ada pihak-pihak yang dirugikan dalam bertransisi dan berujung pada ketidakadilan,“ ujar Torry.
Tetapi harus mempertimbangkan siklus menyeluruh dari sektor energi dan dilakukan penilaian untuk melihat kemampuan adaptasi suatu daerah yang mengalami transisi energi dari berbagai faktor, serta bagaimana dampaknya.
Ia menilai transisi energi yang berkeadilan yang didorong pemerintah, masih belum jelas di mana letak keadilannya, prinsip keadilan ini perlu didefinisikan ulang.
Musim Panas, Vietjet Mulai Layani Penerbangan Langsung Hanoi Phuket dan Van Don Vietnam
Direktur Program Trend Asia, Ahmad Ashov Birry mengatakan bahwa prinsip keadilan adalah hal yang paling fundamental pada transisi energi.
Dalam mendukung transisi energi yang adil dan berkelanjutan, Trend Asia menuturkan nilai, prinsip, dan langkah strategis dari transisi energi yang adil dan berkelanjutan di Indonesia yakni Akuntabilitas, transparansi, dan partisipatif, Penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan hak asasi manusia, Keadilan Ekologis, Keadilan Ekonomi, Transformatif, bukan sekedar transisi teknologi tetapi harus mendorong transformasi pembangunan ekonomi secara menyeluruh dari ekonomi ekstraktif dan sentralistik ke ekonomi yang regeneratif dan demokratis.
“Aspek penting lainnya adalah bahwa konsep dan kerangka transisi energi yang berkeadilan belum didefinisikan dengan baik oleh pemerintah. Oleh karena itu, yang dikhawatirkan adalah terjadinya transisi energi tetapi tidak menyasar pada masalah utamanya, bahkan menghasilkan solusi-solusi palsu seperti co-firing batu bara atau gasifikasi batu bara,” jelasnya.
Gempa M 4,6 Goyang Warga Bali saat Terlelap Tidur
Direktur Eksekutif Traction Energy Asia, Tommy Pratama, berpandangan, angka 23% untuk dicapai di 2025 kurang realistis. Pasalnya, pemerintah masih bertumpu pada sektor bioenergi yaitu biofuel atau bahan bakar nabati dan biomassa yang digunakan PLTU co-firing dengan batu bara.
“Saat ini kontribusi biofuel pada target ET berkontribusi besar yakni sekitar 11-12%. Yang dibutuhkan saat ini adalah diversifikasi energi rendah karbon untuk dapat dikembangkan di Indonesia, seperti solar panel, tenaga angin, micro hydro, dan arus laut bukan justru mengembangkan energi terbarukan yang emisinya akan lebih tinggi dari bahan bakar fosil,” tuturnya.
Tommy menambahkan bahwa bioenergi atau biomassa sifatnya hanya sementara. Karena, misalnya, penggunaan sawit untuk biofuel, itu sempat membebani APBN hingga 2,7 triliun. ***