JAKARTA – Beberapa hari ini banyak terjadi kelangkaan gas elpiji 3 kg di berbagai daerah di Indonesia yang bisa jadi mengindikasikan bakal dicabutnya subsidi pemerintah untuk gas bagi masyarakat bawah ini,
Banyak konsumen rumah tangga menjerit karena harus mengantri cukup lama bahkan tidak mendapatkannya. Hal ini sebenarnya lagu lama yang acap terjadi dan terbukti merugikan konsumen karena harus membeli dengan harga yang melambung.
“Pernyataan Pertamina bahwa kelangkaan ini dipicu oleh permintaan yang naik menjelang Natal dan Tahun Baru, adalah tidak cukup rasional,” ujar Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi dalam siaran persnya, Sabtu (9/12/2017).
Lalu apa yang sebenarnya terjadi dan musabab apa sehingga gas elpiji 3 kg menjadi langka? Ada beberapa hal untuk menyorot hal itu, baik dari sisi harga, distribusi dan juga kebijakan subsidi.
Pemicu pertama kelangkaan gas elpiji 3 kg adalah adanya disparitas harga yang sangat njomplang antara gas elpiji 3 kg dengan gas elpiji 12 kg. Akibat dari disparitas harga yang seperti ini adalah banyak pengguna gas elpiji 12 kg berpindah menjadi pengguna gas elpiji 3 kg.
Selain murah, banyak konsumen 12 kg yang berpindah ke 3 kg karena dianggap praktis, mudah dibawa. Konsumen kaya pun tak malu-malu menggunakan gas elpiji 3 kg karena alasan ini.
Penyebab kedua, terjadi penyimpangan distribusi gas elpiji 3 kg. Semula pola distribusi gas elpiji 3 kg bersifat tertutup, artinya konsumen yang berhak saja yang boleh membelinya.
Sekarang distribusi tersebut bersifat terbuka/bebas, sehingga siapa pun bisa membelinya. Ini menunjukkan adanya inkonsistensi pola distribusi oleh pemerintah.
Akibat disparitas harga dan penyimpangan distribusi itu maka terjadi migrasi/perpindahan dari pengguna 12 kg menjadi pengguna 3 kg. Tak kurang dari 20 persen pengguna 12 kg yang berpindah ke 3 kg, karena harga 12 kg dianggap sangat mahal sementara harga 3 kg sangat murah, karena disubsidi.
“Kondisi ini makin parah manakala terjadi penyimpangan/pengoplosan oleh distributor dan atau agen nakal. Mereka mengoplos demi mendapatkan keuntungan yang lebih besar,” ujar Tulus.
Dari sisi kebijakan subsidi kelangkaan ini juga dipicu oleh sinyal bahwa pemerintah akan mencabut subsidi gas elpiji 3 kg. Hal ini diawali dengan pemangkasan slot kuota gas elpiji 3 kg yang semula sebanyak 6.5 metrik ton dipangkas menjadi 6.1 metrik ton, berkurang 400 ribuan metrik ton.
Sementara permintaan gas elpiji 3 kg malah naik…ya pasti suplai berkurang alias langka! Pemerintah makin limbung saat subsidi gas elpiji 3 kg terus melambung karena penggunaan gas elipiji 3 kg terus meningkat.
Oleh karena itu, jika pemerintah memang serius untuk memasok konsumen menengah bawah dengan subsidi gas elpiji, maka tingkatkan pengawasan terhadap potensi penyimpangan distribusi.
Pemda harus harus turun kelapangan untuk melakukan pengawasan lebih intensif, jangan hanya berpangku tangan saja.
Berikan sanksi tegas bagi oknum distributor yang terbukti melakukan malpraktik distribusi dan melakukan pengoplosan. Kepolisian harus lebih bergigi untuk melakukan _law enforcemen_. PT Pertamina juga harus tegas untuk memutus kerjasama dengan distributor nakal.
“Tanpa hal itu maka penyimpangan distribusi dan pelanggaran hak-hak konsumen menengah akan semakin besar. Mendapatkan gas elpiji dengan harga terjangkau adalah hak konsumen yang harus dijamin keberadaannya,” demikian Tulus. (des)