AMSI, AJI dan IJTI Siap Berikan Pertimbangan Pengujian Undang-undang Pers di MK

5 November 2021, 08:24 WIB
AVvXsEhHPHcsK207zukhYjhMnxBWgA oR3jLFypeZcXM5k1kIlDyY2Xd1yyY7KECs2S2BbTlHIGJJkMgPElfLIXbPYatIyAbvh9C 5gck fWw0 swFFrxqfJDkEJLKrfKGkV zBAvLYth81kbIGMzNYa5jKOolnluWsRvPwCIR CI KKCb4JapVfIq1OMtGKJA
Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI)
dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) mengajukan Permohonan
sebagai Pihak Terkait yang Berkepentingan Tidak Langsung kepada kepada
Mahkamah Konstitusi (MK) pada Pengujian Undang-undang Pers./Dok. AMSI

Jakarta – Tiga organisasi pers dan perusahaan pers Indonesia yaitu Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) dan Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) mengajukan Permohonan sebagai Pihak Terkait yang Berkepentingan Tidak Langsung kepada kepada Mahkamah Konstitusi (MK) pada Pengujian Undang-undang Pers Perkara Nomor: 38/PUU-XIX/2021.
 
Pengajuan permohonan disampaikan melalui Kuasa Hukum yaitu Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers sebagaimana dalam keterangan tertulis pada Kamis 4 November 2021.

Asosiasi Media Siber Indonesia, Sasmito (Ketua Aliansi Jurnalis Independen Indonesia) dan  Wahyu Triyogo (Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia Pusat).

Direktur Eksekutif LBH Pers Ade Wahyudin dalam keterangan tertulis bersama Hendrayana (Asosiasi Media Siber Indonesia), Sasmito (Ketua Aliansi Jurnalis Independen Indonesia) dan  Wahyu Triyogo (Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia Pusat) menyampaikan, kewenangan Dewan Pers sebagaimana diatur Pasal 15 ayat (2) huruf f Undang-undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 sebenarnya hanya memberikan kewenangan kepada Dewan Pers untuk memfasilitasi organisasi–organisasi pers dalam menyusun peraturan di bidang pers.

“Sehingga sebenarnya tidak ada sama sekali ruang dan kesempatan Dewan Pers untuk memonopoli. Sebagai fasilitator, Dewan Pers diwajibkan memastikan adanya ikut serta dari organisasi pers dalam pembentukan peraturan di bidang pers,” ungkap Ade Wahyudin.

Sebagai konstituen Dewan Pers tentunya AJI, AMSI dan IJTI merasa keterangan dalam permohonan ini bisa menjadi salah satu hal yang dipertimbangkan Majelis Hakim MK dalam memeriksa perkara.

Kemudian, pengujian UU Pers mempermasalahkan 2 Pasal yaitu Pasal 15 ayat (2) huruf f terkait kewenangan Dewan Pers memfasilitasi organisasi pers dalam membentuk peraturan dibidang pers dan Pasal 15 ayat (5) terkait keanggotan Dewan Pers yang ditetapkan, dengan Keputusan Presiden.

Beberapa poin penting disampaikan

Pertama, terkait kewenangan Dewan Pers pada salah satu pasal yang diuji, Pasal 15 ayat (2) huruf f sebenarnya hanya memberikan kewenangan kepada Dewan Pers untuk memfasilitasi organisasi–organisasi pers dalam menyusun peraturan di bidang pers.

Sehingga sebenarnya tidak ada sama sekali ruang dan kesempatan Dewan Pers untuk memonopoli. Sebagai fasilitator, Dewan Pers diwajibkan memastikan adanya ikut serta dari organisasi pers dalam pembentukan peraturan di bidang pers.

Kedua, Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pengertian dari memfasilitasi sendiri adalah: “memberikan fasilitas”.

Selanjutya dalam sumber yang sama, fasilitas artinya: “sarana untuk melancarkan pelaksanaan fungsi, kemudahan”. Artinya pada konteks fungsi Dewan Pers dalam membentuk peraturan pada bidang pers, khususnya pada Pasal 15 ayat (2) huruf f adalah menjadi pihak yang memberikan sarana untuk melancarkan fungsi dan kemudahan kepada organisasi pers untuk berkontribusi dan ambil bagian dalam membentuk peraturan di bidang pers.

Ketiga, Sebagai fasilitator, maka jika terdapat pembentukan peraturan di bidang pers tanpa mengikutsertakan organisasi pers maka barulah bisa dianggap bertentangan dengan fungsi dalam UU Pers sendiri.

“Seandainyapun terjadi, permalasahan berada di tataran implementasi bukan pada tataran normatif dengan memintakan Dewan Pers kehilangan sebagian fungsinya sebagai fasilitator organisasi pers membentuk peraturan di bidang pers,” tulis dalam keterangan pers tersebut.

Keempat, ,mncermati posita para Pemohon mengenai memfasilitasi adalah menginginkan penyusunan peraturan-peraturan bidang pers dilakukan oleh masing-masing organisasi pers, bukan dalam bentuk peraturan Dewan Pers. Hal tersebut dikhawatirkan justru membuat peraturan-peraturan bidang pers dapat menjadi tidak kohesif, terpisah sendiri-sendiri sesuai selera dan kepentingan organisasi-organisasi pers, dan bahkan berpotensi bertentangan satu dengan yang lain.

Hal ini berpotensi membuat munculnya kode etik jurnalistik yang tidak baku dan beragam penafsiran sesuai versi masing-masing organisasi pers. Dikhawatirkan justru memunculkan kebingungan massal pada insan pers Indonesia dan mengganggu kebebasan serta profesionalitas pers.

Untuk itu Para Pemohon dan Kuasa Hukum dengan ini menyampaikan permohonan sebagai Pihak Terkait yang Berkepentingan Tidak Langsung kepada MK.

“Besar harapan Para Pemohon dan Kuasa Hukum agar Majelis Hakim MK mau mempertimbangkan keterangan-keterangan yang disampaikan dalam memeriksa perkara PUU yang diajukan,” tutupnya. (rhm)

Artikel Lainnya

Terkini