Gempa M4,8 Bali : Waspada Alur Lembah Sungai dan Tebing Terjal

23 Oktober 2021, 14:11 WIB


Jakarta – 
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melalui Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan (Pusdatinkom) mewadahi diskusi umum melalui daring (22/10/2021).

Diskusi ini dihadiri Plt. Kepala Pusdatinkom Abdul Muhari, Koordinator Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Dr. Daryono, Koordinator Mitigasi Gerakan Tanah PVMBG Ir. Agus Budiyanto, Guru Besar Universitas Andalas Prof. Dr. Eng. Fauzan, dan Kalaksa BPBD Provinsi Bali Drs. I Made Rentin, mengenai perkembangan situasi dan penanganan gempa yang terjadi di wilayah Provinsi Bali. 

Paska gempa bumi M4,8 yang terjadi Sabtu (16/10/2021), di luar dugaan dampak yang ditimbulkan sangat signifikan terhadap bangunan dan infrastruktur di wilayah Kabupatan Karangasem dan Bangli.

Terhitung total 437 unit rumah rusak berat, 135 rumah rusak sedang dan 1.415 rumah rusak ringan.

Kondisi ini tentu saja perlu mendapatkan perhatian karena faktor bangunan yang tidak tahan gempa merupakan faktor utama kerentanan yang bisa menimbulkan korban jiwa saat terjadi gempa.

Kepala Pelaksana BPBD Provinsi Bali Drs. I Made Rentin, mengatakan tiga ruas jalan yang sebelumnya tertutup material longsor di wilayah Trunyan saat ini sudah bisa dilewati kembali.

Meski demikian, pihaknya meminta masyarakat tidak melewati dulu ruas jalan tersebut sampai benar-benar dipastikan aman untuk masyarakat. 

Hal ini disampaikan mengingat masih perlunya dilakukan kajian dan evaluasi bersama pihak terkait, dalam hal ini Badan Geologi, untuk memastikan keamanan kawasan yang baru saja mengalami longsor tersebut.

Rentin menyampaikan bahwa saat ini status tanggap darurat untuk Kabupaten Karangasem diperpanjang hingga tanggal 30 Oktober 2021, sedangkan untuk Kabupaten Bangli berlaku hingga tanggal 27 Oktober 2021.

Dr. Daryono dari BMKG menyampaikan bahwa gempa darat di utara-timur dan Uuara-barat Bali pada tahun 1815, 1917 dan 1976 selalu diikuti oleh longsoran yang memakan korban jiwa tidak sedikit.

“Gempa Bali tanggal 21 Januari 1917 itu menimbulkan longsoran yang menyebabkan korban jiwa hingga 80 persen dari total korban yang saat itu berjumlah sekitar 1,500 orang,” ujar Daryono.

Lebih jauh, Daryono menyampaikan bahwa masyarakat perlu memperhatikan potensi bahaya ikutan (collateral hazards) dari gempa sehingga pemukiman yang saat ini sudah ada perlu melihat kembali aspek geologi lingkungan berbasis risiko gempa.

“Masyarakat diharapkan tidak membangun rumah di bawah lereng bukit terjal karena rawan terjadi longsoran (landslide) dan runtuhan batu (rockfall) saat gempa,” tutupnya. (riz)

Berita Lainnya

Terkini