Bantul– Suasana haru dan khidmat menyelimuti kompleks Makam Raja-Raja Mataram Imogiri, Bantul, DIY, pada Rabu (5/11/2025).
Ribuan pelayat dari berbagai daerah, tak hanya dari Solo dan Yogyakarta, memadati area pemakaman untuk memberikan penghormatan terakhir kepada almarhum Sri Susuhunan Pakubuwono (PB) XIII, Raja Kasunanan Surakarta yang wafat pada Minggu (2/11).
Kehadiran warga ini bukan sekadar takziah biasa, melainkan wujud nyata dari ikatan batin dan persaudaraan Jawa yang melampaui batas geografis.
Salah satu yang hadir sejak pagi adalah Bunda Dewi (39), warga Bambanglipuro, Bantul. Bersama dua rekannya, ia datang bukan atas undangan formal, melainkan dorongan spiritual yang diyakininya sebagai panggilan batin dan ikatan leluhur.
“Tujuan kami ke sini untuk ziarah, untuk melayat. Kita ndherek bela sungkawa, Jogja – Solo itu satu persaudaraan,” ujar Dewi dengan nada tulus.
“Meskipun kami dari Jogja, kami menyempatkan diri untuk ndherek doakan, mugi-mugi suwargi langgeng kagem almarhum Kanjeng Gusti (semoga surga abadi untuk almarhum).”
Dewi menjelaskan, keluarganya adalah keturunan abdi dalem Yogyakarta dan datang sebagai tradisi turun-temurun, sebuah “darah mistis” yang selalu mendorong mereka untuk hadir dalam momen spiritual penting.
Kehadiran mereka menjadi simbol bahwa garis sejarah Mataram tak pernah terputus dalam hati masyarakat, menyatukan dua keraton, Yogyakarta dan Surakarta, dalam duka yang sama.
Sikap Ikhlas Tukang Ojek: Pendapatan Harian Kalah Penting dari Penghormatan
Potret keikhlasan dan penghormatan juga datang dari kalangan pekerja di sekitar makam.
Nurhadi, salah satu tukang ojek di kawasan Imogiri, bersama sekitar 50 anggota Paguyuban Pengantar Wisata Imogiri (PPWI), memilih untuk menghentikan seluruh aktivitas ojek mereka.
“Mulai jam sembilan pagi sudah steril, enggak boleh ada kendaraan naik. Kita patuhi aturan dari keraton,” kata Nurhadi.
“Sekalipun enggak bisa ngojek, ya kita tetap di sini, ikut melayat. Iya harus ikhlas gitu.”
Meski kehilangan potensi penghasilan harian yang bisa mencapai Rp 100 ribu, Nurhadi dan rekan-rekannya tidak merasa keberatan. Bagi mereka, momen berkabung ini jauh lebih bernilai.
“Istilahnya kita numpang makan di makam ini, jadi kalau sekarang waktunya berkabung, ya kita berkabung. Enggak apa-apa enggak narik, yang penting ikut takziah,” tutupnya dengan ketulusan yang menggugah.
Solidaritas dan keikhlasan yang ditunjukkan ribuan pelayat, termasuk kesetiaan keturunan abdi dalem Jogja dan pengorbanan para tukang ojek Imogiri, menjadi penanda betapa besar penghormatan masyarakat terhadap sosok Raja Solo PB XIII.
Prosesi pemakaman ini tak hanya menjadi ritual kerajaan, tetapi juga perayaan tak terucapkan atas persaudaraan abadi dan nilai-nilai budaya yang tetap tersemat kuat di hati masyarakat Jawa. **

