![]() |
Defny Holidin anggota Institute for Democracy Education (IDe)/ist |
Jakarta – Krisis akibat pandemi COVID-19 di Tanah Air dinilai salah satunya karena pemerintah masih terjebak kepada logika “Hard Measures” dalam penanganan pandemi virus corona.
Menurut catatan kritis Defny Holidin anggota Institute for Democracy Education (IDe), krisis akibat pandemi COVID-19 ini, sebenarnya terletak kepada tata kelola yang tidak hanya buruk tapi juga mengambil keuntungan dari rakyat yang diterpa krisis.
Bagaimana pandemic COVID-19 ini menyingkap jelas buruknya tata kelola pemerintahan. Sejatinya ada persoalan yang lebih mendasar dari itu.
“Kita perlu melihat gambaran utuh (the big picture) pelbagai hal yang jalin-berkelindan dalam menghasilkan kerancuan kebijakan selama ini,” tukas Defny dalam keterangan tertulis diterima Kabarnusa.com, Kamis (16/4/2020).
Pertama, disorientasi kebijakan akibat inkoherensi visi-misi serta koordinasi program turunannya di dalam kabinet. Sejak awal periode kedua pemerintahannya, Presiden menegaskan unifikasi atau kesatuan visi-misi pemerintahan, tidak ada visi-misi masing-masing kementerian/lembaga.
Lebih lanjut, tidak ada kejelasan target yang hendak dicapai setidaknya pada 100 hari pertama. Ini juga diamini Presiden sendiri tempo hari. Masalah muncul sebab ada kerancuan orientasi dan titik berat kebijakan visi-misi presiden dan wakil presiden.
Meski diklaim hendak menjadikan pembangunan manusia Indonesia sebagai garda depan kebijakan pembangunannya, publik mafhum bahwa praktiknya pemerintah justru menggencarkan gagasan yang sama sekali tidak punya basis kebijakan yang konsisten dengan visi-misi pembangunan manusia.
Defny melanjutkan, kehadiran Perppu No. 1 Tahun 2020 dengan sempurna menjadi bukti prioritas pembangunan ekonomi (elitis) yang membajak agenda penyelamatan nyawa rakyat di masa pandemic.
Semua kebijakan absurd ini sarat dengan semangat dehumanisasi manusia Indonesia dan pada saat yang sama penuh keberpihakan pada kelompok elit politik dan bisnis. Benar-benar transaksi ekonomi-politik yang korup!
“Kedua, sebagai akibat dari hal pertama tadi, ada kegamangan dalam menyelamatkan masyarakat dari pandemi dan potensi krisis ekonomi yang mengikutinya. Pandemi bagi pemerintah bukan sekadar fenomena sosial tetapi lebih merupakan fenomena ekonomi,” tutur dosen Administrasi Publik Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) Universitas Indonesia ini.
Ditegaskanya, pemerintah masih terperangkap logika bahwa hard measures dalam penanganan pandemi COVID-19 dianggap menghalangi pertumbuhan ekonomi. Sehingga membiarkan pandemic berlangsung tanpa penanganan konkret yang akhirnya dapat berujung pada krisis ekonomi berkepanjangan.
Ketiga, ada kecenderungan pemerintah menghindar dari tanggung jawab konstitusional untuk menanggung imbas sosial-ekonomi ketika hard measures penanganan pandemic diterapkan.
“Ini pula yang menjelaskan, pemerintah bertahan mengambil opsi pembatasan sosial berskala besar (PSBB) meski situasi nyata di lapangan memerlukan karantina wilayah,” sambungnya.
Bukan mempermudah, lanjut dia, pemerintah pusat membuat aturan birokratis terhadap pemda yang hendak menerapkan PSBB tersebut.
Status kedaruratan nasional yang baru saja diumumkan presiden sudah terlambat meski masih bisa dikejar daripada tidak bisa sama sekali. Ini konsekuensi logis dari kerancuan kebijakan pemerintah dalam penanganan pandemik.
Pemerintah seharusnya mengambil tindakan penanggulangan secara luar biasa (extraordinary), termasuk penggunaan dana Rp405T yang tidak boleh sekadar untuk melaksanakan program-program rutin, yang memang sudah ada sebelumnya.
Tak kalah pentingnyam, pemerintah harus prudent mengalihkan semua anggaran pemindahan ibukota negara dan omnibus law untuk menjalankan program extraordinary penanggulangan dampak sosial-ekonomi yang menimpa dunia usaha dan masyarakat.
Ditegaskan, penting untuk merasionalisasi program pemerintah pusat dan daerah, termasuk di dalamnya adalah mengurangi perjalanan dinas, kegiatan kantor rutin, serta pengadaan barang dan jasa yang tidak relevan dengan core function unit kerja setiap level birokrasi di pemerintah pusat dan daerah.
Jika mau jujur, mesti diakui bahwa semua langkah darurat penyelamatan rakyat dari krisis ini pasti merugikan transaksi ekonomi-politik yang menyokong presiden saat ini. (rhm)