ilustrasi (foto:Tempo) |
Kabarnusa.com –
Konsep City State untuk penguatan desa diyakini akan mampu membawa
kesejahtraan masyarakat sehingga mampu mencegah kekuasaan dengan sistem
oligarki.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 6/2014 tentang Desa membawa paradigma pembangunan nasional yang mengalami perubahan radikal sejak
Komitmen
penuh Pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla, juga menjadikan Desa sebagai
bagian utama dalam sembilan program prioritas pemerintah (Nawacita).
“Lahirnya
UU Desa sebagai sebuah revolusi tanpa darah yang terjadi di Indonesia,”
kata Peneliti Senior Forum Masyarakat Pemantau Parlemen (Formappi)
Tommy Legowo belum lama ini.
Berdasar sisi progresivitas, UU Desa
sangat dahsyat karena terdapat perspektif baru pemerintahan dengan
adanya otonomi berjenjang, yaitu otonomi kabupaten kota dan otonomi
desa.
“Jika terimplementasi, UU Desa akan menciptakan 74.093
Singapura di seluruh Indonesia, karena UU Desa memungkinkan desa
membentuk city state yang sebenarnya,” ungkap Tommy.
Tommy menilai perlu dilakukan pengaturan kapasitas desa agar dapat tumbuh dan berkembang menjadi city state.
Artinya,
Desa harus didorong untuk bisa membangun seperti halnya sebuah
negara/pemerintahan, baik dalam aspek politik, sosial, maupun ekonomi.
“Pertanyaannya
sekarang, bagaimana untuk memenuhi kapasitas yang diperlukan untuk
aspekpolitik, sosial dan ekonomi? Dalam kondisi inilah peran pemerintah,
khususnya Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan
Transmigrasi sangat menentukan,” terangnya.
Menurut Tommy, untuk
membangun desa dengan konsep city state, maka desa-desa tidak hanya
butuh penguatan dari aspek ekonomi, namun juga dari aspek sosial dan
politik.
Apalagi desa saat ini tengah dibayang-bayangi sistem
oligarki yang bisa saja menjadi penghambat proses pembangunan yang
dicita-citakan.
Seorang kepala desa sangat potensial membangun
pemerintahan oligarki. Karena itu, Kementerian Desa sangat penting
perannya dalam mengawal UU Desa.
Apalagi kalau UU Desa ini kita
baca dengan teliti akan ditemukan perintah agar masyarakat desa secara
perorangan dan kelompok harus mampu terlibat dalam pembangunan,”
jelasnya.
Tommy menilai tanggungjawab masyarakat desa dalam mengontrol dan mengawasi pemerintahan desa juga harus diwadahi.
Karena
itu, pelaksana program penguatan kapasitas desa, seperti kegiatan
pendampingan harus berorientasi jangka pendek, jangka menengah, dan
jangkapanjang.
“Penataan politik nasional harus dimulai dari
desa, hal ini bersejajaran/simetris dengan agenda prioritas strategis
Nawacita yang digagas Presiden Joko Widodo,” tandas Tommy. (ari))