Prof Dr Zullies Ikawati: Apa Artinya Efikasi Vaksin Sinovac 65,3 % ?

12 Januari 2021, 15:19 WIB
Prof Dr Zullies Ikawati: Apa Artinya Efikasi Vaksin Sinovac 65,3 % ?
Prof DR Zullies Ikawati, Apt – Guru Besar Fakultas Farmasi UGM/ist

Saat yang ditunggu-tunggu tiba, yaitu pengumuman hasil uji klinik
vaksin Sinovac sekaligus pemberian ijin penggunaan darurat (Emergency Use
Authorization = EUA) kepada PT Bio Farma sebagai pengusung vaksin ini di
Indonesia.

Paling tidak sebagian besar pertanyaan telah terjawab mengenai efikasi dan
keamanannya.

Vaksin Sinovac dinyatakan memiliki efikasi 65,3%, dan dari segi keamanan
dinyatakan aman. Efek samping ada dilaporkan, tetapi ringan dan bersifat
reversible.

Kekuatiran tentang kejadian antibody-dependent enhancement (ADE) seperti yang
banyak disebut di beberapa media sosial dan menjadi ketakutan banyak orang
tidak terjadi pada uji klinik Sinovac di Indonesia, maupun di Turki dan
Brazil.

Tapi kemudian banyak orang bertanya, kok efikasinya lebih rendah daripada yang
di Turki atau Brazil ya? Kok lebih rendah dari vaksin Pfizer dan Moderna yang
katanya bisa mencapai 90% ?

BAGAIMANA CARA MENGHITUNGNYA?

Vaksin dengan efikasi atau kemanjuran 65,3% dalam uji klinik berarti terjadi
penurunan 65,3% kasus penyakit pada kelompok yang divaksinasi dibandingkan
dengan kelompok yang tidak divaksinasi (atau plasebo).

Dan itu didapatkan dalam suatu uji klinik yang kondisinya terkontrol. Jadi
misalnya pada uji klinik Sinovac di Bandung yang melibatkan 1600 orang,
terdapat 800 subyek yang menerima vaksin, dan 800 subyek yang mendapatkan
placebo (vaksin kosong).

Jika dari kelompok yang divaksin ada 26 yang terinfeksi (3.25%), sedangkan
dari kelompok placebo ada 75 orang yang kena Covid (9.4%), maka efikasi dari
vaksin adalah = (0.094 – 0.0325)/0.094 x 100% = 65.3%. Jadi yang menentukan
adalah perbandingan antara kelompok yang divaksin dengan kelompok yang tidak.

Efikasi ini akan dipengaruhi dari karakteristik subyek ujinya. Jika subyek
ujinya adalah kelompok risiko tinggi, maka kemungkinan kelompok placebo akan
lebih banyak yang terpapar, sehingga perhitungan efikasinya menjadi meningkat.

Jadi misalnya pada kelompok vaksin ada 26 yang terinfeksi, sedangkan kelompok
placebo bertambah menjadi 120 yg terinfeksi, maka efikasinya meningkat menjadi
78.3%.

Uji klinik di Brazil menggunakan kelompok berisiko tinggi yaitu tenaga
Kesehatan, sehingga efikasinya diperoleh lebih tinggi. Sedangkan di Indonesia
menggunakan populasi masyarakat umum yang risikonya lebih kecil.

Jika subyek ujinya berisiko rendah, apalagi taat dengan prokes, tidak pernah
keluar rumah sehingga tidak banyak yg terinfeksi, maka perbandingan kejadian
infeksi antara kelompok placebo dengan kelompok vaksin menjadi lebih rendah,
dan menghasilkan angka yang lebih rendah.

Katakanlah misal pada kelompok vaksin ada 26 yg terinfeksi COVID (3,25%)
sedangkan di kelompok placebo cuma 40 orang (5%) karena menjaga prokes dengan
ketat, maka efikasi vaksin bisa turun menjadi hanya 35%, yaitu dari hitungan
(5 – 3,25)/5 x 100% = 35%.

Jadi angka efikasi ini bukan harga mati, dan dapat dipengaruhi oleh banyak
faktor ketika uji klinik dilakukan.

Selain itu, jumlah subyek uji dan lama pengamatan juga dapat memperngaruhi
hasil. Jika pengamatan diperpanjang menjadi 1 tahun, sangat mungkin
menghasilkan angka efikasi vaksin yang berbeda.

APAKAH EFIKASI SEBESAR ITU DAPAT BERDAMPAK SIGNIFIKAN?

Penurunan kejadian infeksi sebesar 65%-an secara populasi tentu akan sangat
bermakna dan memiliki dampak ikutan yang panjang.

Katakanlah dari 100 juta penduduk Indonesia, jika tanpa vaksinasi ada 8,6 juta
yang bisa terinfeksi, jika turun 65% dengan vaksinasi, maka hanya 3 juta
penduduk yang terinfeksi, selisih 5,6 juta.

Dapat dihitung (0.086 – 0.03)/0.086 x 100% = 65%. Jadi ada 5,6 juta kejadian
infeksi yang dapat dicegah. Mencegah 5 jutaan kejadian infeksi tentu sudah
sangat bermakna dalam penyediaan fasilitas perawatan kesehatan.

Belum lagi secara tidak langsung bisa mencegah penularan lebih jauh bagi
orang-orang yang tidak mendapatkan vaksin, yaitu jika dapat mencapai kekebalan
komunal atau herd immunity.

Jadi, saya pribadi masih menaruh harapan kepada vaksinasi, semoga bisa
mengurangi angka kejadian infeksi COVID di negara kita. Apalagi jika didukung
dengan pemenuhan protokol kesehatan yang baik, semoga dapat menuju pada
pengakhiran pandemi COVID di Indonesia.

A GOOD START

Ketika tadi diumumkan hasil efikasi vaksin Sinovac sebesar 65.3%, mungkin ada
yang kecewa.. kenapa kok rendah. Tapi menurut saya “it is a good start…”
apalagi batasan minimal FDA, WHO dan EMA pun utk persetujuan suatu vaksin
adalah 50%.

Artinya, secara epidemiologi, menurunkan kejadian infeksi sebesar 50% itu
sudah sangat berarti dan menyelamatkan hidup banyak orang.

Apalagi disampaikan juga tadi bahwa vaksin memiliki imunogenisitas yang tinggi
dengan angka seropositive mencapai 99,23 % pada 3 bulan pertama, yang berarti
dapat memicu antibody pada subyek yang mendapat vaksin.

Tentu kita masih harus menunggu efektivitas vaksin setelah dipakai di
masyarakat. Dan perlu diingat bahwa karena ini baru EUA yg berasal dari
interim report, pengamatan terhadap efikasi dan safety masih tetap dilakukan
sampai 6 bulan ke depan untuk mendapatkan full approval.

Demikian sedikit tulisan terkait dengan efikasi vaksin Sinovac yang 65,3%.
Semoga bermanfaat. Sekali lagi, bismillah… manusia berusaha, Tuhan yang
menentukan. KepadaNya kita pasrahkan.Saya siap divaksinasi. (*)

*Oleh Prof DR Zullies Ikawati, Apt – Guru Besar Fakultas Farmasi UGM

Berita Lainnya

Terkini