Refleksi HTTS, YLKI: Arah Kebijakan Pemerintah Belum Jelas dalam Pengendalian Konsumsi Rokok

Arah kebijakan pemerintah dinilai YLKI belum jelas dalam mengendalikan konsumsi rokok, khususnya di kalangan rumah tangga miskin dan anak anak remaja.

31 Mei 2023, 07:46 WIB

Jakarta – Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia YLKI menilai arah kebijakan pemerintah belum jelas, untuk mengendalikan konsumsi rokok, khususnya di kalangan rumah tangga miskin dan anak anak remaja.

Hal itu disampaikan Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi dalam memperingati World No Tobacco Day, atau Hari Tanpa Tembakau Se Dunia (HTTS) yang jatuh pada 31 Mei 2023.

Tulus Abadi menambahkan, tema HTTS 2023 adalah: We Need Nutrition, not Addiction. Tema ini sgt relevan dg fenomena di Indonesia, manakala mayoritas rumah tangga miskin justru lebih byk mengalokasikan pendapatannya untuk membeli rokok, bukan untuk membeli bahan makanan pokok.

Dalam memperingati HHTS ini, YLKI memiliki beberapa isu krusial yang patut disorot.

Pertama Arah kebijakan pemerintah belum jelas, untuk mengendalikan konsumsi rokok, khususnya di kalangan rumah tangga miskin dan anak anak remaja.

Hal ini terbukti secara politis justru terjadi turbulensi dalam pengendalian tembakau oleh pemerintah, dalam 3-4 tahun terakhir ini.

Apa sebab? tanya Tulus Abadi, karena janji Presiden Jokowi yang akan mengamandemen PP 109/2012 tentang Pengamanan Produk Tembakau sbg Zat Adiktif, gagal total hingga sekarang. Padahal upaya utk amandemen sudah dituangkan dalam sebuah Perpres (2018), dan juga Keppres No 25/2022.

Hingga kini upaya mengamandemen PP mangkrak, sekalipun Menkes telah berganti, dari Menkes Terawan ke Menkes Budi Gunadi Sadikin.

“Apalagi memasuki tahun politik, maka upaya utk mengamandemen PP 109/2012 akan makin musykil, bak sebuah mimpi di siang bolong . Padahal amandemen PP 109/2012 menjadi kebutuhan mendesak, mengingat konsumsi tembakau/rokok makin eskalatif,” tandasnya dikutip dari keterangan tertulis, Rabu 31 Mei 2023.

Jumlah perokok dewasa mencapai 35 persen dari total populasi, dan prevalensi merokok pada anak anak mencapai 9,1 persen. Angka ini akan terus bertambah, jika pemerintah terus melakukan pembiaran dalam pengendalian konsumsi rokok.

Kedua, lanjutnya, adanya upaya penghilangan pasal tembakau sbg zat adiktif pada RUU Omni Buslaw Kesehatan. Sejarah seperti berulang, manakala pada 2009/2010 ada upaya konkrit utk mendelete Pasal 113 di UU No. 36 Tahun 2009 ttg Kesehatan. Pasal 113 ini mengatur tembakau sbg zat adiktif.

Namun upaya itu gagal. Jika RUU OBL Kesesehatan mengamputasi pasal zat adiktif untuk tembakau, maka akan terjadi kekosongan hukum di level UU, yg berdimensi pengendalian tembakau. Dan hal ini merupakan lonceng kematian bagi pengendalian tembakau di Indonesia.

“Kami sangat mendorong keberpihakan pemerintah dalam pengendalian tembakau,” tegas Tulus Abadi .

Untuk itu, dia meminta, janganlah masa depan remaja dan anak anak digadaikan untuk kepentingan industri rokok dan kepentingan jangka pendek lainnya (pemilu). Cuan yang diperoleh dari industri rokok adalah tak seberapa ketimbang nilai investasi bagi kepentingan dan masa depan generasi muda, yang diimpikan sebagai generasi emas.

Mengingat konsumsi rokok yang makin masif, berkelindan dengan masalah ekonomi, sosial dan berbagai penyakit tidak menular lainnya. Bukan generasi emas yang akan dicapai, tapi justru “generasi cemas”, karena digelayuti berbagai penyakit degeneratif yang sangat serius.

Kata Tulus Abadi, termasuk persoalan stunting, yang tak bisa dipisahkan dari pola konsumsi rokok pada rumah tangga miskin. Prevalensi stunting yang masih bertengger pada 24,5 persen; tak akan menurun jika pola konsumsi rumah tangga miskin masih disandera oleh dominannya konsumsi rokok. ***

Artikel Lainnya

Terkini