SAFEnet: Pembatasan Internet Preseden Buruk Bagi Kebebasan Berekspresi

25 Mei 2019, 02:00 WIB
ilustrasi

Jakarta – Langkah pemerintah memblokir akses media sosial atau sebagai bentuk internet throttling, atau pencekikan akses internet, yang berpotensi menjadi preseden buruk dalam menjamin hak kebebasan berekspresi di Indonesia.

Diketahuil Rabu, 22 Mei 2019, siang hari, di media sosial ramai dengan warganet yang mengeluhkan tidak bisa mengakses beberapa media sosial dan aplikasi chatting, seperti Instagram dan WhatsApp, seperti biasanya.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Wiranto mengatakan beberapa akses layanan internet dinonaktifkan untuk sementara, terutama layanan untuk pengiriman dan pengunduhan foto atau video lewat aplikasi chatting, seperti WhatsApp.

Penjelasan singkat yang diberikan adalah tindakan itu diambil pemerintah untuk menghindari penyebaran berita bohong atau hoaks. “Semata-mata demi keamanan nasional,” kata Wiranto, seperti dilansir oleh Tirto.id, merujuk pada situasi pasca pengumuman rekapitulasi pemilihan umum oleh KPU.

Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) Rudiantara yang turut hadir menyebutkan pembatasan ini bersifat sementara dan bertahap, serta dilakukan oleh lima provider telekomunikasi atas permintaan pemerintah.

Dasar pembatasan akses internet ini, menurut Rudiantara, sudah sesuai dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) tanpa penjelasan lebih lanjut.

Kepala Divisi Akses Atas Informasi SAFEnet (Southeast Asia Freedom of Expression Network) Unggul Sagena melihat langkah yang diambil pemerintah ini adalah bentuk internet throttling, atau pencekikan akses internet, berpotensi menjadi preseden buruk dalam menjamin hak kebebasan berekspresi di Indonesia.

“Pembatasan akses internet atau internet throttling merupakan salah satu bentuk internet shutdown — secara sengaja membatasi akses publik pada internet untuk periode tertentu, bukanlah praktik baru dalam upaya mengekang kebebasan berekspresi,” katanya dalam keterangan tertulis, Jumat 25 Mei 2019.

Dari catatan SAFEnet, tahun 2016 ada 75 internet shutdown di seluruh dunia. Pada 2017, naik menjadi 108 internet shutdown dan pada 2018 menjadi 188 internet shutdown. Berdasarkan Access Now, organisasi yang menyuarakan hak digital, angka tersebut naik 180 persen dari tahun sebelumnya.

Mayoritas menggunakan alasan serupa, demi keamanan negara dan memperlambat laju penyebaran hoaks, meskipun efektivitasnya dipertanyakan dan dampaknya yang bahkan dapat mempengaruhi kondisi ekonomi negara.

Karenanya, SAFEnet menuntut Pemerintah Indonesia untuk memastikan bahwa hak digital warganet Indonesia sebagai bagian dari hak asasi manusia tidak akan terancam dengan pemberlakuan pembatasan internet ini.

“Kami menuntut Pemerintah Indonesia untuk memastikan bahwa ke depannya langkah

pembatasan internet bukan keputusan yang bisa semena-mena diterapkan dengan dasar “demi keamanan negara” belaka tanpa ada parameter yang jelas mengenai situasi darurat yang mendorong pemberlakuan pembatasan internet ini,” tegasnya.

Pihaknya meminta Pemerintah Indonesia untuk memberikan laporan yang transparan dan akuntabel atas keputusan ini pada publik, termasuk dan tidak hanya terbatas pada alasan, parameter situasi darurat negara, dan dasar hukum, namun juga beserta informasi akses dan wilayah yang dibatasi, durasi pembatasan internet, efektivitas pemberlakuannya, serta pengukuran dampak dari pemberlakuan pembatasan internet ini.

“Kami mendorong Pemerintah Indonesia untuk mencari langkah alternatif sehingga dapat mencegah pemberlakuan pembatasan internet yang berdampak pada hak berkomunikasi dan kebebasan berekspresi Warga Negara Indonesia,” tandasnya.

Selain itu, mendesak Pemerintah Indonesia mengusut dan menindak tegas pelaku penyebaran hoaks dan provokator ujaran kebencian alih-alih membatasi perilaku warganet Indonesia.

Kemudian, Platform digital, seperti perusahaan penyedia media sosial, untuk lebih keras dan responsif dalam menangani potensi penyebaran hoaks yang disertai ujaran kebencian dan bermuatan politis.

“Kami mengimbau masyarakat untuk tetap bijak dalam berinternet dan tidak terprovokasi hoaks atau informasi-informasi yang tidak bisa dibuktikan kebenarannya,” demikian Unggul. (rhm)

Berita Lainnya

Terkini