Sumedang-Dalam rangka memperingati Hari Jadi Sumedang ke-447, sebuah tradisi penting kembali digelar, yaitu Kirab Panji dan Kirab Mahkota Kemaharajaan Sunda. Mahkota yang menjadi simbol kejayaan tersebut adalah Mahkota Binokasih Sanghyang Pake, yang saat ini tersimpan dengan baik di Museum Prabu Geusan Ulun, Sumedang.
Penetapan tanggal 22 April sebagai Hari Jadi Sumedang memiliki kaitan erat dengan sejarah perpindahan kekuasaan. Pada tanggal tersebut, Mahkota Binokasih Sanghyang Pake diserahkan dari Kerajaan Sunda di Pajajaran kepada Kerajaan Sumedanglarang.
Peristiwa ini merupakan imbas dari serangan tentara Surasowan Banten ke ibu kota Pajajaran, Pakuan Bogor, yang dikenal dengan sebutan Burak Pajajaran.

Momentum penting ini juga bertepatan dengan dilantiknya Prabu Geusan Ulun sebagai Raja di Kerajaan Sumedanglarang. Peralihan kekuasaan terjadi karena putra mahkota Pajajaran kala itu tidak bersedia meneruskan takhta.
Situasi ini mendorong empat kandaga lante (utusan penting kerajaan) untuk menyerahkan mahkota kepada Sumedanglarang, yang dianggap memiliki kemampuan untuk melanjutkan kepemimpinan Pajajaran. Setelah penyerahan mahkota, wilayah bekas Pajajaran secara resmi menjadi bagian dari kekuasaan Sumedanglarang.
Batas wilayahnya terbentang dari Sungai Cisadane di barat hingga Sungai Cipamali di wilayah Brebes saat ini di timur. Dengan demikian, kekuasaan di tanah Sunda beralih dari Pajajaran ke Sumedanglarang.

Menarik untuk ditelusuri, Mahkota Binokasih ternyata memiliki sejarah yang lebih panjang. Mahkota ini dibuat pada masa Raja Bunisora di Kerajaan Galuh pada tahun 1371, ketika ibu kota kerajaan berada di Kawali, Ciamis.
Jejak kejayaan Galuh masih dapat disaksikan hingga kini melalui kompleks makam Astana Gede Kawali. Kawasan ini juga menyimpan memori tragis tentang Dyah Pitaloka, putri Galuh yang menjadi korban politik Gajah Mada dalam peristiwa Perang Bubat antara Galuh dan Majapahit.
Perjalanan Mahkota Galuh berlanjut ke Pajajaran setelah putra Galuh, Sang Jayadewata, menikah dengan putri Sunda. Pernikahan ini menyatukan Galuh dan Sunda, dengan Sang Jayadewata yang kemudian dikenal sebagai Prabu Siliwangi naik takhta dan memindahkan ibu kota ke Pakuan Pajajaran, Bogor.
Kirab Panji dan Kirab Mahkota ini diadakan sebagai pengingat bagi seluruh masyarakat Sunda akan makna penting mahkota bagi identitas dan nilai-nilai luhur yang dijunjung tinggi. Ajaran utama yang diturunkan oleh para pemimpin Sunda adalah tentang Binokasih, yang berarti membina dan menyebarkan kasih sayang kepada sesama manusia dan seluruh alam.
Radya Anom R. Lucky Djohari Seomawialga menjelaskan bahwa Mahkota Binokasih bukan sekadar artefak, tetapi juga mengandung nilai-nilai luhur ajaran Ki Sunda, yaitu Silih Asah (saling menajamkan pikiran), Silih Asih (saling mengasihi), Silih Asuh (saling membimbing), dan Silih Wangi (saling mengharumkan nama baik). Kasih sayang menjadi landasan utama dalam pemerintahan, hubungan antarmanusia, dan tata kelola negara.
Oleh karena itu, tema Hari Jadi Sumedang kali ini adalah “Lembur dijaga, kota ditata, lingkungan dipiara”. Diharapkan tema ini dapat membawa dampak positif dan universal bagi seluruh warga Sumedang khususnya, dan masyarakat Jawa Barat pada umumnya. ***
Kontributor: Edah Jubaedah, S.S.