Kebangkitan Nasional, Mengikis Ketimpangan Akses Pendidikan

Oleh: Dr. Rasminto, Akademisi Universitas Islam ’45 (UNISMA), Pengurus Harian MN KAHMI dan Direktur Eksekutif Human Studies Institute.

20 Mei 2024, 18:57 WIB

Jakarta – Pada hari ini 116 tahun yang lalu, para pemuda dan tokoh bangsa berikrar untuk bangkit dari belenggu penjajahan, membuka jalan menuju kemerdekaan dan kemajuan. Semangat kebangkitan ini tidak hanya berbicara tentang kebebasan politik, tetapi juga tentang pencerdasan bangsa melalui pendidikan.

Gerakan Kebangkitan Nasional dimotori para pemuda saat itu oleh Dr. Wahidin Sudirohusodo dan Dr. Sutomo, bersama rekan-rekan mereka, dalam mendirikan organisasi Budi Utomo. Organisasi ini menjadi simbol kesadaran kolektif tentang pentingnya pendidikan untuk membebaskan diri dari kebodohan dan ketertinggalan. Mereka menyadari bahwa pendidikan adalah kunci untuk membuka pintu kemajuan dan martabat bangsa.

Hari Kebangkitan Nasional bukan sekadar peringatan sejarah, melainkan momen refleksi bagi kita semua. Ini adalah waktu untuk merenungkan betapa pentingnya pendidikan dalam membangun karakter, kecerdasan, dan keterampilan generasi penerus. Di tengah tantangan zaman modern, pendidikan menjadi landasan yang kokoh untuk menghadapi berbagai perubahan dan menggapai cita-cita besar.

Peringatan Hari Kebangkitan Nasional, kita diingatkan akan pentingnya memajukan sistem pendidikan yang inklusif, adil, dan bermutu. Setiap anak bangsa, tanpa memandang latar belakangnya, berhak mendapatkan kesempatan yang sama untuk belajar dan berkembang, sebagaimana amanat Pasal 31 Ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi ”Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”. Pendidikan untuk semua merupakan amanat konstitusi, pasal tersebut menegaskan bahwa pendidikan merupakan hak bagi setiap warga negara Indonesia. Sejatinya pendidikan merupakan salah satu fondasi utama dalam pembangunan sebuah masyarakat yang maju.

Melalui pendidikan, kita tidak hanya membangun pengetahuan, tetapi juga menanamkan nilai-nilai luhur seperti toleransi, kerja keras, dan cinta tanah air. Pada peringatan Hari Kebangkitan Nasional ke 116, marilah kita menguatkan tekad untuk terus memperjuangkan pendidikan yang lebih baik. Dengan semangat yang diwariskan oleh para pendahulu kita, mari kita bersama-sama membangun bangsa yang cerdas dan berdaya saing, menjadikan pendidikan sebagai cahaya penerang di setiap langkah kita menuju masa depan yang gemilang.

Pendidikan dan Modal Menuju Indonesia Emas 2045

Kita membayangkan sebuah bangsa yang telah mencapai puncak kemakmuran dan kesejahteraan dalam visi besar ”Indonesia Emas 2045″ yang menggambarkan cita-cita luhur untuk membawa negeri ini ke masa depan yang cerah, di mana setiap warga negara menikmati kehidupan yang lebih baik dan penuh peluang. Kunci utama untuk mencapai visi ini adalah pendidikan, sebagai modal utama dalam membangun Indonesia Emas.

Pendidikan, lebih dari sekadar transmisi pengetahuan, sebab fondasi dari segala kemajuan. Melalui pendidikan, kita tidak hanya membekali generasi muda dengan keterampilan dan ilmu pengetahuan, tetapi juga menanamkan nilai-nilai moral, etika, dan semangat kebangsaan. Pendidikan yang berkualitas menciptakan individu-individu yang kreatif, inovatif, dan siap menghadapi tantangan global.

Untuk menuju Indonesia Emas, kita memerlukan sistem pendidikan yang adaptif dan responsif terhadap perkembangan zaman. Era digital dan Revolusi Industri 4.0 menuntut keterampilan baru yang meliputi literasi digital, pemikiran kritis, dan kemampuan beradaptasi. Oleh karena itu, kurikulum pendidikan harus terus diperbarui dan disesuaikan agar relevan dengan kebutuhan masa depan.

Selain itu, akses terhadap pendidikan yang merata dan inklusif adalah prasyarat utama. Setiap anak Indonesia, tanpa memandang latar belakang sosial, ekonomi, atau geografis, berhak mendapatkan kesempatan belajar yang sama. Program beasiswa, pembangunan infrastruktur pendidikan di daerah terpencil, dan pelatihan guru adalah langkah konkret untuk mewujudkan pendidikan yang adil dan merata.

Pendidikan juga berperan dalam membangun karakter bangsa. Melalui pendidikan karakter, kita menanamkan nilai-nilai seperti integritas, kerja keras, gotong royong, dan cinta tanah air. Generasi muda yang berpendidikan baik tidak hanya pintar secara akademis, tetapi juga memiliki kepribadian yang tangguh dan bertanggung jawab.

Kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sangat penting dalam memajukan pendidikan. Investasi dalam pendidikan tidak hanya berasal dari anggaran negara, tetapi juga dari partisipasi aktif berbagai pihak dalam bentuk kemitraan, program CSR, dan inisiatif komunitas. Dengan bersinergi, kita bisa menciptakan lingkungan belajar yang kondusif dan inovatif.

Hari ini, kita memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa visi Indonesia Emas 2045 bukan hanya angan-angan, tetapi sebuah kenyataan. Pendidikan adalah modal utama kita dalam perjalanan ini.

Pendidikan Mahal, Tantangan Kemajuan Bangsa

Di tengah impian kita untuk melihat Indonesia maju dan sejahtera mencapai Indonesia Emas 2045, terselip kenyataan pahit yang menghambat langkah menuju masa depan gemilang, yakni kita dihadapkan kenyataan mahalnya biaya pendidikan yang semakin tidak terjangkau bagi banyak kalangan. Pendidikan, yang seharusnya menjadi hak dasar dan jalan menuju kemajuan, kini menjadi barang mewah yang hanya bisa dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat.

Bayangkan ketika seorang anak di pelosok negeri yang memiliki mimpi besar untuk menjadi dokter, insinyur, atau guru. Sayangnya, mimpi itu sering kali terhenti di depan pintu sekolah yang menuntut biaya tinggi. Biaya pendaftaran, seragam, buku, dan sumbangan sekolah menjadi penghalang nyata bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu. Bagaimana mungkin kita bisa maju jika anak-anak bangsa terhalang oleh tembok tinggi mahalnya pendidikan?.

Ketidakadilan ini menciptakan jurang yang semakin lebar antara mereka yang mampu dan tidak mampu. Anak-anak dari keluarga kaya dapat menikmati fasilitas pendidikan terbaik, sementara anak-anak dari keluarga miskin harus puas dengan apa yang ada, sering kali dengan kualitas yang jauh dari memadai. Kesenjangan ini tidak hanya menciptakan ketidakadilan sosial, tetapi juga menghambat potensi besar yang dimiliki generasi muda kita.

Fakta lainnya, kita dihadapkan mahalnya biaya uang kuliah tunggal (UKT) di Perguruan Tinggi Negeri, fakta ini menjadi sebuah ironi yang kontras dalam konteks komersialisasi pendidikan. Hal ini tentunya bertentangan pada Pasal 4 ayat 1 UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.

Selain itu, pernyataan Sekretaris Ditjen Pendidikan Tinggi Kemendikbudristek Tjitjik Srie Tjahjandarie yang menyebut pendidikan tinggi sebagai tertiery education atau edukasi tersier. Sangat menyayat hati masyarakat, pernyataan tersebut dinilai tidak simpatik sekaligus menguatkan persepsi jika kuliah atau pendidikan tinggi bersifat elitis dan hanya untuk kalangan tertentu saja. Kita perlu meluruskan literasi bahwasanya yang dimaksud dengan tertiery education bukanlah sifat pendidikan tinggi yang merupakan kebutuhan tersier, namun merupakan tahapan dalam levelitas jenjang pendidikan tinggi yang banyak dianut dalam sistem pendidikan barat. Dimana dalam tahapan pendidikan barat diawali oleh tahapan primary education, secondary education, dan tertiary education.

Namun, yang menjadi esensinya bahwa kondisi pendidikan mahal juga berdampak pada kualitas tenaga kerja masa depan. Ketika hanya segelintir orang yang mendapatkan pendidikan berkualitas, kita kehilangan banyak talenta yang sebenarnya bisa berkontribusi besar bagi kemajuan bangsa. Sumber daya manusia yang tidak optimal ini berdampak langsung pada berbagai sektor, mulai dari kesehatan, teknologi, hingga ekonomi nasional. Untuk mengatasi masalah ini, kita perlu tindakan nyata dan komprehensif. Pemerintah harus lebih serius dalam mengalokasikan anggaran untuk pendidikan, tidak hanya terfokus pada jenjang pendidakan tertentu, namun harus mengalokasikan secara proporsional berdasarkan azas berkeadilan.

Pemerintah juga diharapkan memastikan dana pendidikan yang dialokasikan dalam APBN 20 persen atau lebih dari Rp. 600 triliun, dapat digunakan secara efektif dan tepat sasaran. Selain itu, Program beasiswa pendidikan yang dikelola oleh Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) sebesar Rp. 139 triliun harus diperluas dan dipermudah aksesnya, serta mencakup lebih banyak generasi muda dari berbagai latar belakang bukan hanya kalangan elit tertentu saja.

Kita juga perlu merefleksikan kembali tujuan dari sistem pendidikan, yakni untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mempersiapkan generasi muda yang siap menghadapi tantangan masa depan. Evaluasi peraturan pendidikan yang kontraversi untuk memastikan bahwa kita tidak terhambat oleh mahalnya biaya pendidikan. Dengan tekad dan kerja keras, kita bisa menciptakan sistem pendidikan yang inklusif, adil, dan berkualitas, sehingga setiap anak Indonesia memiliki kesempatan yang sama untuk meraih masa depan yang lebih baik. Hanya dengan pendidikan yang terjangkau dan berkualitas, kita dapat mewujudkan cita-cita Indonesia Emas 2045.***

Artikel Lainnya

Terkini