Kabarnusa.com – Keputusan Kementerian Perhubungan terkait kapal penyeberangan yang beroperasi di Selat Bali dinilai membingungkan. Sudah dua kali ini diterapkan, namun beberapa hari kemudian dicabut.
Hal ini tentunya sangat berdampak pada pengguna jasa penyeberangan dan para pekerja di pelabuhan.
Mulai Rabu (12/8) kapal LCT yang sempat dilarang beroperasi akhirnya dizinkan kembali beroperasi dan akan kembali dihentikan operasinya 31 Desember 2015.
“Ini kann sangat berdampak kepada ratusan buruh yang biasa bekerja di kapal LCT. Apa pemerintah memikirkannya,” terang Ketua SPSI Jembrana, Sukirman, Kamis (13/8/2015).
Kata dia, jika kapal LCT kembali dilarang beroperasi, buruh yang selama ini menggantungkan hidup di kapal LCT mau diapakan.
Pemerintah harus memberikan kepastian kepada mereka, karena ketika LCT dihentikan praktis mereka akan menganggur.
Dari 14 LCT yang tersedia sebelumnya, satu kapal minimal memiliki belasan karyawan, termasuk di darat.
Karena itu, kebijakan itu harus disertai kajian yang matang, termasuk dari segi tenaga kerja para karyawan kapal LCT.
Ketua GAPASDAP (Gabungan Pengusaha Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan) Banyuwangi, Novi Budianto mengatakan, kebijakan memberhentikan 14 LCT di Ketapang – Gilimanuk itu kurang tepat sasaran.
Butuh waktu yang lebih lama lagi untuk penyesuaian. Terbukti kendatipun sudah dipersiapkan, teryata masih banyak kendala.
Terkait karyawan yang selama ini bekerja di LCT, menurutnya masih menunggu perkembangan selanjutnya. Mereka belum di PHK dan akan dipanggil lagi untuk kembali melayani di kapal LCT.
Seperti diberitakan, sejak Rabu (12/8), Direktur Jenderal Perhubungan Darat (Dirjen Hubdat) mencabut regulasi penghentian pengoperasian belasan kapal LCT.
Akibat antrian panjang truk di Pelabuhan Penyeberangan Ketapang dan Pelabuhan Penyeberangan Gilimanuk beberapa jam pasca-aturan itu diterapkan.
Jumlah truk yang hendak menyeberang ke Bali, tidak sebanding dengan kapal yang disediakan, khususnya yang bisa bersandar di dermaga LCM. (dar)