Ilustrasi polusi udara (Shutterstock |
Jakarta – Publik perlu menagih komitmen dan konsistensi kebijakan pemerintah bagi penyediaan BBM ramah lingkungan demi kesehatan masyarakat, bangsa dan negara membangun perekonomian lebih baik.
Hal itu disampaikan Ekonom Konstitusi Defiyan Cori setelah mencermati kondisi ketidakramahan lingkungan udara di Jakarta dan Indonesia.
Melansir data Badan Pusat Statistik (BPS) yang telah mempublikasikan data terbaru terkait perkembangan jumlah kendaraan bermotor sampai Tahun 2018 yang total semua jenis kendaraan bermotor mencapai 146.858.759 unit, dan 120.101.047 unit adalah sepeda motor.
Sepeda motor selama ini merupakan konsumen utama premium dan diperkirakan sebagai penyebab dari ketidakramahan lingkungan udara di Jakarta dan Indonesia.
“Secara khusus data Statistik Transportasi DKI Jakarta 2018 menunjukkan, mobil penumpang mencatat pertumbuhan tertinggi 6,48% per tahun pada periode 2012-2016,” sebut Defiyan dalam keterangannya, Jumat (4/9/2020).
Pada Tahun 2012 jumlah mobil penumpang di Jakarta sebanyak 2,74 juta unit sedangkan pada 2016 bertambah menjadi 3,52 juta unit.
Jika diasumsikan pertumbuhan mobil penumpang masih sama, jumlah mobil penumpang di Jakarta pada 2017 mencapai 3,75 juta unit dan 2018 menjadi 3,99 juta unit.Jumlah sepeda motor di Jakarta pada 2012 mencapai 10,82 juta unit.
Angka ini terus meningkat menjadi 13,3 juta unit pada 2016. Dengan rerata pertumbuhan 5,3% per tahun, jumlah sepeda motor diperkirakan mencapai 14 juta unit pada 2017 dan 14,74 juta unit pada 2018.
Selain pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor itu, maka berdasar hasil penelitian kesehatan mengenai dampak polusi udara terhadap penyakit tidak menular juga sungguh mengkhawatirkan.
BBM jenis premium atau yang beroktan rendah dinyatakan sebagai yang tidak ramah terhadap lingkungan dan sumber dari penyakit tidak menular yang diderita masyarakat.
Asap emisi yang dikeluarkan kendaraan bermotor semakin berdampak negatif, yaitu membuat kualitas kesegaran dan kesehatan udara semakin menurun.
Apabila, udara yang dihirup manusia tidak lagi segar dan bersih, tentunya juga berdampak buruk bagi kesehatan manusia dan bahkan terancam terkena kanker paru-paru dan kanker darah, ” ungkap alumnus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta ini.
Di Indonesia menurut laporan International Energy Agency (IEA) kontributor terbesar emisi karbon dunia yang menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim adalah dari konsumsi energi fosil.
Sekitar 70 persen dari emisi karbon tersebut adalah dari konsumsi energi fosil seperti BBM solar dan BBM jenis premiun. Memang telah ada perubahan dalam perilaku konsumen atas perubahan penggunaan konsumsi premium berdasar data penurunan penjualan di atas.
Artinya, banyak konsumen lebih sadar atas pemeliharaan kendaraannya sebagai akibat mengkonsumsi BBM premium yang beroktan rendah.
Selain adanya banyak pilihan BBM yang disediakan oleh Pertamina, maka tampak ada pula perubahan pola konsumsi masyarakat yang memilih jenis BBM beroktan lebih tinggi, yang mampu meningkatkan kinerja (kecepatan, kehandalan, dan pemeliharaan) kendaraan mereka yang lebih baik.
Saat ini, sebagian besar pemilik sepeda motor mulai meninggalkan premium. Terlebih, sepeda motor jenis skuter matik yang diminati konsumen lebih banyak menggunakan Pertalite atau Pertamax sebagaimana ditunjang buku petunjuk kendaraan bermotor dan dealernya.
Bahkan, bisa saja telah terjadi perubahan perilaku di kalangan pemilik mobil dan sepeda motor yang “malu” membeli BBM penugasan dan bersubsidi seperti premium dan solar. Maka itu, pemerintah perlu memanfaatkan momentum penurunan konsumsi premium dan perubahan perilaku konsumen ini.
Selain juga harus diteliti secara mendalam apa memang benar premium dan BBM beroktan rendah menjadi penyebab utama penyakit tidak menular, apa tidak mungkin karena mesin kendaraan yang menghasilkan emisi?
Perlu juga diperiksa para karyawan SPBU yang bekerja dilingkungannya, apa memang terganggu kesehatannya karena melayani jual beli BBM. Dengan memperhatikan secara seksama data penurunan penjualan premium Pertamina 5 (lima) tahun terakhir, konsumen sebenarnya telah memiliki kesadaran atas kebutuhan BBM ramah lingkungan.
Masalah utama sejak Tahun 2014 dengan adanya Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak (yang dirubah menjadi Perpres No.43 Tahun 2018) justru berada pada komitmen Pemerintah sendiri, terutama Presiden Joko Widodo.
Premium sebagai BBM beroktan rendah apabila disediakan terus tentu akan membuka peluang konsumen untuk terus mengkonsumsi.
Apalagi jumlah kendaraan bermotor roda dua semakin meningkat dengan adanya kebijakan izin angkutan umum yang diberikan oleh Kementerian Perhubungan, kebijakan pemerintah menjadi absurd dan tak masuk akal.
“Karenanya, publik perlu menagih komitmen dan konsistensi kebijakan pemerintah bagi penyediaan BBM ramah lingkungan demi kesehatan masyarakat, bangsa dan negara membangun perekonomian lebih baik,” demikian Defiyan. (rhm)