Dorong Investasi, Pemerintah Diminta Masukkan Migas sebagai Industri Pionir

5 April 2018, 19:13 WIB
Foto%2B3
Media Briefing” Mendongkrak Daya Saing Global Demi Kontribusi Maksimal Industri Migas Nasional” di Jakarta

JAKARTA– Dalam mendorong minat invetasi bidang minyak dan gas pemerintah diminta memasukkan migas sebagai industri pionir yang bisa membawa tekonologi industri hulu migas terkini di Tanah Air.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengungkapkan, Implementasi PP 27 tahun 2017, dimaksudkan dDalam rangka menarik minat investor migas untuk berinvestasi.

Pemerintah telah menerbitkan  Peraturan  Pemerintah  Nomor  27  Tahun  2017  tentang  Perubahan  atas  Peraturan  Pemerintah Nomor  79  Tahun  2010  tentang  Biaya  Operasi  Yang  Dapat  Dikembalikan  dan  Perlakuan  Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Migas, pada 19 Juni 2017.

Walaupun beberapa pasal pada PP 27/2017 jelas memberikan insentif dan fasilitas pajak untuk membantu keekonomian investasi hulu migas.

“Saat ini diperlukan aturan turunan dan perluasan aturan perpajakan hingga dapat diakses di industri hulu migas,” tegasnya dalam Media  Briefing dengan  tema,  “Mendongkrak  Daya  Saing  Global  demi  Kontribusi Maksimal Industri Migas Nasional” di Jakarta, baru-baru ini

Kata dia, Industri  hulu  migas  sepatutnya  untuk  dimasukan  kedalam  kategori  industri  pionir  yang  membawa  teknologi  industri  hulu  migas  terkini  ke  Indonesia. 

Seiring  dibutuhkannya  eksplorasi  dan  eksploitasi  sumber  daya  hulu  migas  yang  ada  di  perairan  laut  dalam,  kawasan frontier (umumnya  di kawasan  Indonesia  bagian  Timur)  atau  yang  membutuhkan  teknologi  baru  seperti  EOR.

Industri  hulu migas jelas merupakan salah satu industri pionir membawa teknologi terkini yang berdampak positif bagi Indonesia.   Jumlah  investasi  oleh  pelaku  industri  hulu  migas  yang  berbentuk  Badan  Usaha  Tetap  (BUT)  dapat ditingkatkan  lebih  tinggi  dengan  iklim  fiskal yang  lebih  kondusif .

Termasuk  dibukanya  akses bagi  pelaku  industri  hulu  migas  atas  insentif  pajak  seperti tax  allowance (keringanan  pajak)  dan tax  holiday (libur pajak).   Hal ini berarti adanya perbedaan aksesibilitas atas insentif dan fasilitas pajak.

Selain itu aturan  tersebut juga masih sulit untuk diterapkan tanpa adanya aturan implementasi seperti Peraturan Menteri Keuangan (PMK),” imbuh Prastowo.

Dalam pandanga, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute,  Komaidi Notonegoro ada kecenderungan penurunan produksi migas dari tahun ke tahun dalam dekade terakhir ini.

Salah satu masalah mendasar yang membuat investor menahan diri  untuk menambah investasi (bagi mereka yang sudah beroperasi di Indonesia) atau tidak menarik  investor migas baru adalah realisasi kebijakan yang belum terwujud secara komprehensif.

Kebijakan diambil masih bersifat  sektoral  dan  belum  mampu  memberi  peluang  untuk  mencapai  keekonomian  dalam operasional  industri  migas  di  Indonesia. 

“Kita  tahu  di  industri  hulu  migas  investasi  tersebut berdampak secara luas termasuk melalui rantai suplai domestik yang panjang,” papar Komaidi.

Pembenahan mata  rantai  birokrasi  mulai  dari proses  eksplorasi,  produksi  hingga  ke  distribusi

produk untuk konsumsi menjadi salah satu faktor yang menyebabkan inefisiensi di sektor migas

di Indonesia. 

Upaya memangkas birokrasi memang mulai dilakukan pemerintah, dengan penyederhanaan

perizinan maupun dengan program perizinan satu pintu. Bahkan beragam aturan revisi maupun

aturan  baru  diterbitkan  demi  menggairahkan  industri  hulu  migas  nasional. 

“Namun  di  sisi  lain  aturan-aturan tersebut masih belum memberi kejelasan terkait pelaksanaan teknisnya maupun  memenuhi ekspektasi pelaku usaha” demikian Komaidi. (des)

Berita Lainnya

Terkini