Media Briefing” Mendongkrak Daya Saing Global Demi Kontribusi Maksimal Industri Migas Nasional” di Jakarta |
JAKARTA– Dalam mendorong minat invetasi bidang minyak dan gas pemerintah diminta memasukkan migas sebagai industri pionir yang bisa membawa tekonologi industri hulu migas terkini di Tanah Air.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengungkapkan, Implementasi PP 27 tahun 2017, dimaksudkan dDalam rangka menarik minat investor migas untuk berinvestasi.
Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi Yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Migas, pada 19 Juni 2017.
Walaupun beberapa pasal pada PP 27/2017 jelas memberikan insentif dan fasilitas pajak untuk membantu keekonomian investasi hulu migas.
“Saat ini diperlukan aturan turunan dan perluasan aturan perpajakan hingga dapat diakses di industri hulu migas,” tegasnya dalam Media Briefing dengan tema, “Mendongkrak Daya Saing Global demi Kontribusi Maksimal Industri Migas Nasional” di Jakarta, baru-baru ini
Kata dia, Industri hulu migas sepatutnya untuk dimasukan kedalam kategori industri pionir yang membawa teknologi industri hulu migas terkini ke Indonesia.
Seiring dibutuhkannya eksplorasi dan eksploitasi sumber daya hulu migas yang ada di perairan laut dalam, kawasan frontier (umumnya di kawasan Indonesia bagian Timur) atau yang membutuhkan teknologi baru seperti EOR.
Industri hulu migas jelas merupakan salah satu industri pionir membawa teknologi terkini yang berdampak positif bagi Indonesia. Jumlah investasi oleh pelaku industri hulu migas yang berbentuk Badan Usaha Tetap (BUT) dapat ditingkatkan lebih tinggi dengan iklim fiskal yang lebih kondusif .
Termasuk dibukanya akses bagi pelaku industri hulu migas atas insentif pajak seperti tax allowance (keringanan pajak) dan tax holiday (libur pajak). Hal ini berarti adanya perbedaan aksesibilitas atas insentif dan fasilitas pajak.
Selain itu aturan tersebut juga masih sulit untuk diterapkan tanpa adanya aturan implementasi seperti Peraturan Menteri Keuangan (PMK),” imbuh Prastowo.
Dalam pandanga, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro ada kecenderungan penurunan produksi migas dari tahun ke tahun dalam dekade terakhir ini.
Salah satu masalah mendasar yang membuat investor menahan diri untuk menambah investasi (bagi mereka yang sudah beroperasi di Indonesia) atau tidak menarik investor migas baru adalah realisasi kebijakan yang belum terwujud secara komprehensif.
Kebijakan diambil masih bersifat sektoral dan belum mampu memberi peluang untuk mencapai keekonomian dalam operasional industri migas di Indonesia.
“Kita tahu di industri hulu migas investasi tersebut berdampak secara luas termasuk melalui rantai suplai domestik yang panjang,” papar Komaidi.
Pembenahan mata rantai birokrasi mulai dari proses eksplorasi, produksi hingga ke distribusi
produk untuk konsumsi menjadi salah satu faktor yang menyebabkan inefisiensi di sektor migas
di Indonesia.
Upaya memangkas birokrasi memang mulai dilakukan pemerintah, dengan penyederhanaan
perizinan maupun dengan program perizinan satu pintu. Bahkan beragam aturan revisi maupun
aturan baru diterbitkan demi menggairahkan industri hulu migas nasional.
“Namun di sisi lain aturan-aturan tersebut masih belum memberi kejelasan terkait pelaksanaan teknisnya maupun memenuhi ekspektasi pelaku usaha” demikian Komaidi. (des)