Yogyakarta – Fenomena street photography atau fotografi jalanan kembali menarik perhatian publik, terutama seiring meningkatnya tren olahraga lari yang kerap menjadi objek bidikan.
Meskipun banyak pelari yang antusias, isu pelanggaran privasi muncul ke permukaan ketika foto mereka diambil dan diunggah ke ruang publik tanpa persetujuan.
Menanggapi kontroversi ini, Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM), Elok Santi Jesica, menekankan pentingnya memperoleh izin dari subjek foto.
Menurutnya, meskipun kegiatan fotografi di ruang publik pada dasarnya diperbolehkan—sebagai bagian dari hak warga dalam memanfaatkan ruang urban—hal itu berpotensi melanggar hak dan privasi seseorang jika dilakukan tanpa persetujuan.
“Fotografi di ruang publik sebetulnya bisa dilakukan… Namun, ketika objeknya adalah orang lain dan dilakukan tanpa persetujuan, hal ini berisiko melanggar hak dan privasi mereka,” ujar Elok, Selasa (4/11).
Elok menjelaskan, risiko pelanggaran menjadi lebih serius apabila foto-foto tersebut kemudian dikomersialkan atau dijual untuk keuntungan.
“Artinya, fotografer mengkodifikasikan foto-foto ini dan menjualnya, padahal belum tentu orang yang difoto menyetujuinya,” tambahnya.
Ia menegaskan, izin yang diperlukan tidak hanya sebatas pengambilan foto, melainkan juga persetujuan terkait penggunaan dan distribusi foto tersebut.
Lebih lanjut, praktik pengambilan dan penyebarluasan foto tanpa izin ini berpotensi melanggar hukum, seperti Undang-Undang No. 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), khususnya jika foto tersebut disebarkan di media sosial atau platform komersial.
“Di negara lain, seperti Korea Selatan, mengambil foto orang tanpa izin dikategorikan sebagai pelanggaran dan bahkan bisa dianggap kekerasan seksual, dengan sanksi pidana dan denda,” jelasnya.
Oleh karena itu, Elok mengimbau agar praktik street photography dan segala bentuk perekaman data digital dilakukan dengan kehati-hatian dan melibatkan persetujuan subjek, terutama jika foto akan digunakan untuk promosi komersial atau kepentingan lembaga.
“Harapannya ke depan, kehati-hatian dan kesadaran akan risiko tetap mengiringi pilihan-pilihan dalam mengikuti tren di media sosial,” pungkasnya, menyerukan kesadaran digital yang lebih tinggi di masyarakat.***

