Menjaga Bali dengan Hati: Gebrakan Humanis Ketut Sumedana Lestarikan Adat di Era Modern

Salah satu inovasi menonjol yang digagas Kajati Bali Ketut Sumedana adalah "Rumah Restorative Justice Bale Kertha Adhyaksa" yang menunjukkan keseriusannya dalam menangani permasalahan hukum di tingkat desa adat.

26 April 2025, 23:06 WIB

Denpasar – Di bawah kepemimpinan Dr. Ketut Sumedana, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali menghadirkan angin segar dalam penegakan hukum di Pulau Dewata. Belum genap dua tahun menjabat sebagai Kepala Kejati Bali, berbagai gebrakan inovatif yang mengedepankan penegakan hukum yang tegas, adaptif, sekaligus humanis, berhasil mencuri perhatian publik.

Konsep inilah yang menjadi landasan Ketut Sumedana dalam menjaga keharmonisan tanah Bali dan masyarakatnya.

Salah satu inovasi menonjol yang digagas oleh pria kelahiran Buleleng ini adalah “Rumah Restorative Justice Bale Kertha Adhyaksa”. Program ini menunjukkan keseriusan Ketut Sumedana dalam menangani permasalahan hukum di tingkat desa adat. Kini, Bale Restorative telah hadir di beberapa wilayah seperti Bangli, Tabanan, Badung, dan Buleleng, dan rencananya akan menjangkau seluruh kabupaten dan kota di Bali.

Ketut Sumedana memiliki visi bahwa tidak semua konflik harus berakhir di meja pengadilan. Ia berkeinginan agar persoalan hukum, khususnya di Bali, dapat diselesaikan di tingkat desa. Langkah ini diharapkan dapat menekan kerugian materiil, mengurangi resistensi hukum dan sosial, serta menciptakan efisiensi yang sejalan dengan kebijakan pemerintah pusat.

Inilah wujud ketegasan yang berpadu dengan sentuhan humanis dan inovasi, yang diimplementasikan Sumedana di era modern ini tanpa mengabaikan nilai-nilai luhur adat, tradisi, budaya, agama, dan kearifan lokal Bali.

Dalam berbagai kesempatan, Ketut Sumedana tak henti-hentinya mengingatkan para bendesa adat untuk memiliki komitmen kuat dalam menjaga Bali dengan bersikap fleksibel dan adaptif terhadap perkembangan zaman.

Ia menekankan pentingnya menyelenggarakan berbagai upacara dan upakara yang menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Bali secara sederhana namun tetap khidmat. Menurutnya, esensi dari bakti adalah ketulusan, pengabdian, dan pengorbanan yang didasari oleh kesadaran yang tulus sesuai dengan kemampuan masing-masing.

Menjaga Bali dengan segala kemudahan, kecepatan berbagai upacara dan upakara yang hampir setiap hari dilaksanakan oleh orang Bali.

“Upacara yang mestinya dilaksanakan secara sederhana tanpa mengurangi makna harus betul-betul dilaksanakan dengan hati, karena bakti itu didasari oleh ketulusan, pengabdian dan pengorbanan, juga didasari atas kesadaran tulus sesuai kemampuan kita,” demikian pesan Ketut Sumedana kepada awak media pada Jumat (25/4).

Mantan Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung ini juga menyoroti konsep Yadnya (persembahan suci) yang seharusnya tidak memberatkan umat hingga terjerat hutang. “Ini yang menjadi perhatian kita bersama.

“Ayo kita rumuskan bersama untuk membuat mudah, murah dan tidak ada paksaan, betul-betul lahir dari budaya yang adi luhung,” ajaknya.

Lebih jauh, sebagai putra daerah, Ketut Sumedana memiliki kepedulian yang mendalam terhadap keberlangsungan tanah dan masyarakat Bali. Ia tidak ingin aset pura di Bali hilang dan berubah menjadi bangunan beton atau fasilitas komersial lainnya.

Baginya, tanah Bali adalah marwah dan jiwa leluhur masyarakat Bali yang harus dijaga dengan sungguh-sungguh.

“Jangan sampai berpindah tangan dan berubah wujud menjadi fasilitas lain yang bukan untuk pelestarian budaya dan tradisi. Tak ingin suatu saat terjadi, pura di Bali berdiri hanya dihuni para dewa saja tanpa ada krama Bali,” tegas Ketut Sumedana.

Kekhawatiran ini muncul karena ia melihat praktik sehari-hari di mana banyak pura di Bali menghabiskan dana miliaran rupiah untuk upacara yadnya hingga terpaksa menjual aset pura. “Lama-lama Pura dikelilingi vila, hotel dan menjadi milik investor.

Sedihnya lagi pengemponnya terpinggirkan dan tinggal jauh, akhirnya yang tersisa hanya pura dan dewa-Nya saja, masyarakat tidak ada,” ungkapnya dengan nada prihatin.

Untuk mencegah hal tersebut, Ketut Sumedana menekankan pentingnya menjaga laba pura oleh masyarakat Bali. Ia mendorong agar aset pura diatur dan dilindungi melalui awig-awig (peraturan desa adat). “Tanah Bali yang mempunyai marwah dan jiwa leluhur jangan sampai berpindah tangan, harus ada awig-awig yang mengatur kalaupun disewa harus ada batasan waktunya supaya generasi kita tahu peruntukan Laba Pura tersebut,” jelasnya.

Di bawah kepemimpinan Ketut Sumedana, Kejati Bali akan memberikan perhatian serius terhadap isu ini. Inilah salah satu alasan mengapa Bale Restorative Justice hadir, yaitu untuk membantu masyarakat di tingkat desa adat, termasuk dalam melindungi aset pura. Baginya, setiap desa pasti memiliki potensi konflik dan permasalahan, namun tidak semua harus diselesaikan melalui jalur pengadilan.

“Bisa diselesaikan di Bale Sabha Adhyaksa. Untuk itu, bendesa, tokoh masyarakat, tokoh agama akan berperan penting menyelesaikan masalah di tingkat desa,” pungkasnya. Dengan inovasi Bale Restorative Justice dan perhatiannya terhadap pelestarian aset dan kearifan lokal, Dr. Ketut Sumedana menunjukkan komitmennya untuk menjaga tanah dan masyarakat Bali secara utuh. ***

Berita Lainnya

Terkini