UU Desa Tempatkan Masyarakat Subyek Pembangunan

19 Desember 2014, 08:02 WIB
UU Desa
Jumpa Pers dan Seminar Peluang dan Tantangan
Pemerintah Daerah @2014

KUTA – UU Desa Nomor 6 Tahun 2014  memberi angin segar bagi terwujudnya kesejahteraan di desa karena menempatkan masyarakat sebagai pelaku atau subyek pembangunan. Dosen Sosiologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Ari Sujito mengatakan, sejak setahun regulasi UU Desa Nomor 6 Tahun 2014 disahkan, sebenarnya itu lahir dari tuntutan civil society atau masyarakat sipil.

Dalam konteks itu, Institut for Research and Empowerment (IRE) melakukan kajian dan pemdampingan terhadap beberapa desa di Yogyakarta dan Jawa Tengah, dalam mengimplementasikan UU Desa.

Menurutnya, pemerintah daerah harus menyiapkan diri dalam mengimplementasikan UU Desa, sehingga tujuan dari regulasi itu, bisa berjalan dengan baik yakni penguatan masyarakat desa dalam proses pembangunan.

“Dalam semangat UU yang baru itu, masyarakat tidak lagi dipandang sebagai obyek tetapi pelaku atau subyek pembangunan,” sambung Ari saat jumpa pers dan Seminar Peluang dan Tantangan
Pemerintah Daerah dalam implementasi UU Desa NO 6 Tahun 2014 di Hotel
Haris, Kuta, Kamis (18/12/14).

.

Sejak UU No 6 Tahun 2003, belum ada koreksi terhadap aturan itu. Karena itulah, muncul kekuatan yang mengoreksi UU itu dari masyarakat sipil, akademisi, LSM dan lainnya. Tujuan koreksi itu, kata dia orientasinya untuk mendorong demokrasi di level desa atau terjadinya transformasi di level lokal.,” tukasnya.

Karena itu, kelahiran UU Desa yang baru memiliki tantangan positif di mana terjadi beberapa pembaruan di desa. Secara garis besar, substansi lahirnya UU Desa itu, yakni mengatur posisi desa bukan lagi obyek sebagaimana terjadi selama rezim orde baru.

Sebaliknya, UU itu lahir menempatkan masyarakat desa sebagai pelaku subyek dalam pembangunan mulai perencanaan, penganggaran, hingga pengelaan desa. Pengakuan keberadaan desa tidak seperti di Jawa seja, melainkan juga menghormati keberadaan pluralitas desa seperti desa adat.

“Inilah tantangannya, bagaimana mengkonversikan desa dengan adat, itu pilihan mereka masyarakat yang harus diputuskan, jadi bukan keputusan pusat,” tuturnya. Dalam konteks desa, yakni bagaimana kemampuan mereka menerjemahkan atau memiliki cara pandang yang sama.

“Arahnya pada kemandirian, pemberdayaan desa jangan semata dibaca itu sebagai isu ada tidaknya bantuan kepada desa, yang jumlahnya saat ini mencapai Rp1,4 miliar per desa,” tambah Deputi Deputi V Bidang Pengembangan Daerah Khusus Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) Lili Romli.

Dikatakan Romli, dalam UU Desa itu, pembangunan pemerintah hanya berfungsi sebagai fasilitator. Banyak sumber daya resources desa yang dipakai agar desa bisa mandiri dan melestarikan akar kultural masing masihg.

Kata dia, desa akan menjadi sumber untuk pelayanan publik dalam menumbuhkan ekonomi lokal. Hal sama disampaikan Direktur IRE Krisdiyatmiko, dalam UU Desa itu, nantinya aset-aset desa dikelola untuk peningkatan kesejahteraan desa. Jadi, dipakai untuk bersama-sama untuk kepentingan desa.

Diharapkan, pemerintah daerah tidak khawatir dengan penguatan desa itu karena justru akan membantu tugas mereka dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Meski nantinya dalam implementasinya masih ada konflik namun hal itu akan bisa dicegah dengan rambu-rambu dan aturan yang jelas. Jangan sampai terjadi kolonisasi di desa. (rhm)

Artikel Lainnya

Terkini