Menteri PAN RB Asman Abnur /dok.kabarnusa |
SIJUNJUNG – Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Asman Abnur mengatakan untuk menyembuhkan penyakit birokrasi di Indonesi ada enam jurus yang bisa dilakukan guna mewujudkan tata kelola pemerintahan yang bersih akuntabel, efektif efisien dan mampu memberikan pelayanan publik berkualitas.
“Ada enam jurus yang harus dilaksanakan setiap instansi pemerintah, baik pusat maupun daerah,” ujar Menteri saat memberikan arahan pada Rakor Reformasi Birokrasi Pemda di Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat, Kamis (29/3/2018).
Penyakit birokrasi dimaksud, antara lain masih banyaknya pemerintah daerah yang memiliki persentase belanja operasional untuk kebutuhan internal pemerintah yang lebih besar dari belanja publik.
Kata dia, kondisi seperti ini sangat membatasi bagi pemerintah daerah untuk dapat memberikan pelayanan yang baik kepada publik. “Akibatnya, pemerintah daerah hanya sibuk dengan urusan internal sehingga urusan pelayanan kepada publik terabaikan,” tuturnya..
Penyakit kedua, tingkat korupsi yang cukup tinggi. Hal ini terlihat dari adanya sejumlah kepala daerah yang ditangkap KPK melalui Operasi Tangkap Tangan (OTT) akhir-akhir ini. Mereka diduga tersangkut penyuapan dalam kaitan dengan menjual promosi jabatan, penerimaan fee proyek tertentu, pengesahan RAPBD, dan gratifikasi untuk memperoleh perizinan.
Ketiga, Inefektivitas dan inefisiensi dalam pengelolaan pembangunan. Dikatakan, banyak perencanaan pembangunan dilakukan secara serampangan, copy dan paste dari tahun-tahun sebelumnya, tidak fokus pada outcome yang ingin dicapai.
Kegiatan yang sengaja diajukan hanya untuk memperoleh tambahan penghasilan atau memberikan keuntungan pribadi, diajukan dengan biaya yang jauh lebih besar dari harga pasar, dan lainnya.
“Akibatnya, banyak anggaran pembangunan yang digunakan tetapi tidak tepat sasaran dan boros,” tegas Asman lagi.
Penyakit keempat, kualitas ASN masih belum optimal dalam mendukung kinerja pemerintah. Disebutkan, secara kuantitas, jumlah PNS sekitar 4.5 juta orang. Dari segi kuantitas, sebenarnya jumlah ini sudah cukup untuk melaksanakan tugas penyelenggaraan pemerintahan.
Tetapi, dilihat dari sisi kualitasnya yang mayoritas adalah PNS golongan II ke bawah, dengan latar belakang pendidikan SMA ke bawah, maka tidak mudah untuk diandalkan menjadi birokrasi yang berkualitas.
Persoalan kelima, organisasi pemerintah yang cenderung besar, baik di pusat maupun di daerah, yang cenderung memanfaatkan kemungkinan untuk memperbesar struktur tanpa melihat kebutuhan nyata, ketersediaan sumber daya yang dimiliki, kondisi terkini yang dihadapi, dan cakupan wilayah pelayanan.
“Jarang sekali terjadi upaya perubahan struktur organisasi untuk menyederhanakan struktur sesuai dengan kebutuhan nyata. Selain itu, terdapat kecenderungan terjadinya pembentukan lembaga non struktural yang tugasnya berhimpitan atau beririsan dengan instansi fungsional,” ungkap pria kelahiran Padang Pariaman ini.
Sedangkan penyakit keenam, kualitas pelayanan publik yang masih belum memenuhi harapan publik. Dijelaskan, pelayanan publik bisa dalam bentuk perizinan, pelayanan dasar, ataupun pelayanan jasa, menjadi tanda kehadiran pemerintah di masyarakat.
Dengan pelayanan publik yang buruk akan memberikan kesan bahwa pemerintah tidak memperhatikan kebutuhan masyarakat. Meskipun belakangan ini sudah banyak terjadi perbaikan dan inovasi, namun semakin maju tingkat kehidupan masyarakat maka semakin kritis dan semakin tinggi selera kebutuhan pelayanan publik yang berkualitas.
Hal lain yang merupakan penyakit birokrasi adalah perilaku ASN yang belum profesional. Padahal, SDM ASN merupakan unsur yang terpenting dalam birokrasi. Bukan hanya dalam pengertian fisik pegawai, tetapi menyangkut seluruh aspek yang melekat pada pegawai yang bersangkutan, mulai dari perilaku, kompetensi, pengetahuan, kreativitas atau soft skill lainnya.
“Masih banyak ASN yang berpikir bukan sebagai pelayan masyarakat, tetapi lebih mengedepankan kekuasaan,” tegasnya.
Lebih lanjut Menteri mengatakan, ada banyak pendekatan yang bisa diambil. Tetapi secara umum, ada langkah-langkah atau jurus yang seharusnya dilakukan.
Pertama, memperbaiki manajemen kinerja. Dalam hal ini, lanjut Asman, program dan kegiatan harus benar-benar dirancang untuk menghasilkan outcome yang tepat sehingga dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi pembangunan.
“Tidak boleh ada lagi kegiatan-kegiatan siluman yang diselipkan dalam program tertentu yang sama sekali tidak memiliki kaitan dengan outcome,” tegasnya.
Jurus kedua, Pembangunan unit kerja menuju Wilayah Bebas dari Korupsi/Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBK/WBBM) yang merupakan miniatur pelaksanaan reformasi birokrasi, terutama pada unit kerja yang memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat.
Diharapkan unit kerja yang nantinya mendapat predikat WBK-WBBM dapat menjadi contoh pelaksanaan reformasi birokrasi bagi unit-unit kerja lainnya.
Dikatakan, pada tahun 2017, terdapat 6 unit kerja yang mendapat predikat WBBM dan 71 unit kerja yang mendapat predikat WBK. Diharapkan semakin banyak unit kerja yang mendapat predikat WBK/WBBM.
Langkah ketiga, melakukan penyederhanaan organisasi pemerintahan. Pada tahun 2014, yaitu awal pemerintahan Kabinet Kerja, pemerintah telah membubarkan 10 Lembaga Non Struktural (LNS), pada tahun 2015 dibubarkan 2 LNS, tahun 2016 dibubarkan 9 LNS dan terakhir pada tahun 2017 dibubarkan 2 LNS.
Sehingga antara tahun 2014 sampai dengan 2017 secara total berjumlah 23 LNS yang sudah dibubarkan. Pembubaran dilakukan mengingat tugas dan fungsi LNS tersebut sudah dilaksanakan kementerian/lembaga teknis.
Kemudian, jurus keempat, mempercepat penerapan sistem pemerintahan berbasis elektronik (e-government) secara terintegrasi. Ini perlu dilakukan mengingat pengembangan e-government dihadapkan pada kenyataan bahwa setiap instansi membangun sistem e-government mereka sendiri, sehingga terjadi pulau-pulau sistem elektronik dalam satu instansi yang mengakibatkan pemborosan belanja infrastruktur.
Selama tahun 2013-2015 pemerintah sudah mengeluarkan total belanja aplikasi sebesar 34 Triliun dan belanja infrastruktur sebesar 56 Triliun. Padahal sebenarnya 65% dari aplikasi yang dibangun merupakan aplikasi umum berbagi pakaiyang dapat dikembangkan secara terpusat. “Hanya 35% aplikasi bersifat spesifik/khusus yang hanya ada di instansi pemerintah tertentu karena sifat tugas dan fungsinya,” jelas Asman.
ilustrasi |
Dampak dari permasalahan ini meliputi: pemborosan anggaran belanja negara untuk teknologi informasi yang meningkat setiap tahun tetapi pemanfaatannya hanya sekitar 30%, disintegrasi sistem informasi pemerintah, risiko keamanan dan validitas data yang diyakini.
Selanjutnya, jurus kelima pemerintah harus meningkatkan kapasitas Aparatur Sipil Negara. Upaya ini dilakukan melalui perbaikan sistem rekrutmen, percepatan penetapan peraturan teknis sebagai pelaksanaan UU ASN, peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan, dan pengawasan terhadap penerapan sistem merit.
Jurus keenam atau terakhir, dilakukan dengan mempercepat peningkatan kualitas pelayanan publik. Dikatakan, untuk memenuhi semakin berkembangnya tuntutan masyarakat terhadap perbaikan pelayanan publik, maka perlu dilakukan terobosan-terobosan di bidang penyelenggaraan pelayanan.
Saat ini inovasi pelayanan publik sudah sangat berkembang dibandingkan beberapa tahun yang lalu. Hal ini antara lain terlihat dari antusiasme unit pelayanan dalam mengikuti Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik.
Pada Tahun 2014 tercatat hanya 515 inovasi yang mengikuti kompetisi. Pada tahun 2015 meningkat dua kali lipat menjadi 1.189 inovasi. Pada tahun 2016 jumlah inovasi terdaftar kembali meningkat dua kali lipat menjadi 2.476. Terakhir, tahun 2017sebanyak 3.054 inovasi tercatat sebagai peserta kompetisi.
Selanjutnya, untuk mendorong pengembangan inovasi di unit dan daerah lain, dibangun pula Jejaring Informasi Pelayanan Publik (JIPP) yang telah diinisasi di Provinsi Jawa Timur, Sulawesi Selatan dan Sumatera Selatan.
Kata Asman, jejaring ini merupakan forum untuk saling bertukar informasi terkait inovasi pelayanan publik sekaligus mendorong pembangunan inovasi di unit pelayanan lain melalui penyelenggaraan pelatihan inovasi (bootcamp).(des)