Jakarta – Direktur Eksekutif Human Studies Institute, Rasminto soroti kasus dugaan penguntitan oleh oknum Densus 88 terhadap Jampidsus, Febri Adriansyah menjadi ancaman serius penegakan hukum.
“Dugaan penguntitan oleh oknum Densus 88/AT Polri berimbas pada pelanggaran dan ancaman terhadap penegakan hukum di Indonesia”, katanya.
Menurut Rasminto, kasus ini tidak hanya mengejutkan publik, tetapi juga menimbulkan pertanyaan serius mengenai integritas dan independensi lembaga penegak hukum di Indonesia.
“Jika benar faktanya, berarti terjadi pelanggaran serius dengan pengenaan pasal 167 KUHP, tentang memasuki pekarangan orang lain tanpa izin yang sah. Penguntitan yang melibatkan pemasangan alat pemantau di properti pribadi tanpa izin dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap pasal ini”, jelasnya
Rasminto juga menguraikan perbuatan diduga oknum Densus 88 dapat melanggar Pasal 335 KUHP, tentang perbuatan tidak menyenangkan yang mengganggu ketenangan seseorang.
“Penguntitan yang menyebabkan ketidaknyamanan dan ketakutan dapat dikategorikan dalam perbuatan tidak menyenangkan”, urainya.
Ia pun menjelaskan perbuatan penguntitan juga bertentangan dengan UU No. 11/2008 tentang ITE.
“Sebab, penggunaan alat pemantau canggih untuk mengawasi tanpa izin dapat melanggar pasal-pasal yang melindungi privasi dan data pribadi”, katanya.
Lanjutnya, juga bagi oknum yang mendalanginya dapat dikenakan ancapan pidana serius.
“Oknum yang terlibat dalam penguntitan ini bisa dikenakan pasal ini atas peran aktif mereka dalam tindakan tersebut. Sebab, melanggar pasal 55 KUHP tentang mereka yang melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan perbuatan pidana”, tegasnya.
Ia juga menyesalkan kejadian penguntitan yang dapat merusak citra Polri karena dianggap tidak profesional.
“Sebab apa yang dilakukan oleh terduga oknum Densus 88 Polri merupakan pelanggaran terhadap UU No 9/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, secara aspek hukum perbuatan ini tidak dapat dibenarkan”, ungkapnya.
Baginya, ketika situasi hubungan Polri-Kejagung memburuk akibat kasus penguntitan tidak permasalahkan pengawalah oleh anggota Polisi Militer.
“Kita harus lihat aspek trust antar institusi, bukan soal siapa yang harus mengawal, ini masalah keselamatan nyawa aparat hukum yang dipertaruhkan, memang ini resiko profesi tapi tentunya semangat pemberantasan korupsi dan kejahatan besar harus diutamakan”, tegasnya.
Kasus ini merupakan ancaman serius terhadap penegakan hukum di Indonesia.
“Jika oknum dari lembaga penegak hukum sendiri terlibat dalam tindakan ilegal semacam ini, integritas dan kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum dapat terancam”, ungkapnya.
Kasus ini menggarisbawahi pentingnya reformasi dalam tubuh institusi penegak hukum.
“Guna memastikan bahwa tidak ada intervensi dan penyalahgunaan wewenang dalam proses penegakan hukum, terlebih Kejagung sedang menangani berbagai kasus kakap seperti kasus korupsi Timah, BTS dll yang seharusnya perlu dukungan publik untuk dapat menuntaskannya dengan terang benderang”, tegasnya.
Bagi Rasminto, insiden penguntitan dapat menjadi pengingat akan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam penegakan hukum.
“Diperlukan komitmen bersama untuk menjaga supremasi hukum dan memastikan bahwa keadilan ditegakkan tanpa adanya pengaruh atau intervensi dari pihak manapun”, tegasnya.***